Pak Harto sebagai Panglima Komando Mandala

OLEH NOOR JOHAN NUH

Noor Johan Nuh (Foto: Istimewa)

Jenderal Soedirman Wafat

DENGAN adanya Perintah Harian Panglima Besar no 27/PB/49, tanggal 3 Juni 1949 menetapkan Letnan Kolonel Soeharto sebagai Komando Militer Tertinggi di Yogyakarta, mengemban tugas yang luar biasa berat dan sibuk, antara lain;

Pertama, mengatur pasukan TNI yang ikut bergerilya dan kembali ke Yogyakarta untuk dapat tinggal secara layak dan tertib. Kedua, memastikan jalannya pemerintahan dapat berlangsung dengan aman di ibu kota perjuangan Yogyakarta, setelah pimpinan republik yang ditahan dan diasingkan ke Bangka dan Parapat kembali ke Yogyakarta. Ketiga, meyakinkan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk bersedia kembali ke Yogyakarta, dan memastikan bahwa beliau dapat tinggal dengan aman di Yogyakarta. Tidak ada lagi pengkhianatan Belanda seperti dilakukan terhadap Pangeran Diponogoro.

Menindaklanjuti Perjanjian Roem-Royen, delegasi Indonesia dipimpin Wakil Presiden Muhammad Hatta berangkat ke Negeri Belanda sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar.

Konferensi Meja Bundar (KMB) menghasilkan keputusan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), negara serikat antara Republik Indonesia dengan negara-negara bentukan Van Mook.

Hasil ini sangat mengecewakan Pak Dirman yang dalam kondisi sakit parah setelah memimpin perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia tanpa syarat tidak terwujud berdampak pada kondisi kesehatan Pak Dirman bertambah parah.

Satu bulan setelah pengakuan kedaulatan dalam bentuk Republik Indonesia Serikat, tanggal 28 Januari 1950, Panglima Besar Jenderal Soedirman   meninggal   dunia.   Keesokan   harinya   dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Letnan Kolonel Soeharto bertindak sebagai komandan upacara pemakaman Panglima Besar, sedangkan sebagai inspektur upacara adalah Presiden Mr. Asaat.

Lihat juga...