Masa Depan Literasi, Masa Depan Bangsa

OLEH TJAHJONO WIDARMANTO

Tjahjono Widarmanto. Foto: Istimewa

Bukan berarti kelisanan lebih buruk dari literer. Bahkan tak bisa disangkal bahwa kelisanan telah memberikan sumbangan dalam melakukan transformasi nilai dan karakter. Namun, kelisanan punya keterbatasan yaitu tak mampu mendokumentasikan dan terhalang keterbatasan ruang untuk merawat segala transformasi nilai atau ingatan dari transformasi nilai itu.

Akibatnya, transformasi itu terputus, sedang di sisi lain, transformasi-transformasi lainnya harus terus berjalan. Tugas tradisi literasilah yang mendokumentasikan sekaligus melanjutkan proses transformasi yang sudah dilakukan tradisi lisan.

Celakanya, saat kita belum selesai dalam kelisanan, pun belum memasuki tradisi tulisan (aksara) dengan serius, baru sebatas bebas buta aksara, datanglah taufan kelisanan kedua dengan diawali  kehadiran telivisi dan dilanjutkan gempuran internet, you tube, dan sebagainya.

Melalui televisi, internet, you tube dan sejenisnya, datanglah sihir-sihir sinetron dengan wajah-wajah rupawan, film-film romantisme yang dangkal, tayangan hantu-hantu, klenik dan mistik yang ajaib dan konyol, kuis-kuis yang tak memberikan ruang bagi kecerdasan, gosip-gosip genit dan murahan yang dietalasekan dengan mewah, berita-berita hoax yang menjadi mantera dan diamini khalayak.

Lalu di manakah ada kamar baca dan buku-buku yang tersisa di ruang-ruang rumah kita? Lantas adakah sisa waktu untuk membaca buku di antara kesibukan berselfie? Adakah waktu yang memberi kesempatan pada otak dan jari untuk menulis?
Buku tiba-tiba telah menjadi sejenis makhluk langka yang lebih asing dibanding kadal dan biawak.

Celakanya, tak banyak usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal untuk itu. Tak ada perpustakaan di rumah. Di kota-kota perpustakaan seperti kuburan gelap yang menakutkan. Di sekolah-sekolah perpustakaan hanya menjadi tempat kencan dan pacaran.

Lihat juga...