Masa Depan Literasi, Masa Depan Bangsa
OLEH TJAHJONO WIDARMANTO
Literasi memiliki cakupan makna yang luas dan lebar. Tak berhenti dimaknai sebagai keberaksaraan atau kemampuan baca tulis semata.
Demikian luasnya wilayah literasi, maka muncullah berbagai ragam literasi. Ada literasi baca tulis, ada literasi media, ada literasi sains, literasi kultural dan sebagainya.
Agar tak merentang panjang, tulisan ini membatasi pemahaman literasi sebagai kompetensi keberaksaraan dan keterbacaan. Alasan logisnya, keberaksaraan dan keterbacaanlah yang menjadi dasar dan pintu masuk menuju literasi-literasi lainnya. Tanpa memiliki kemampuan beraksara dan membaca, tak mungkin seseorang bisa meraih kompetensi literasi-literasi lainnya.
Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa dasar dari keimanan saya adalah “membaca”. Itu berarti, secara teologis, agama Islam meletakkan akal dan nalar sebagai pijakan untuk mengukuhkan iman. Hal ini jelas dan diungkapkan dengan terang benderang pada ayat pertama, surat pertama, yang memfirmankan perintah membaca! Ini berarti secara eksplisit merupakan pengagungan terhadap eksistensi nalar dan ilmu.
Firman lain dalam surat Al Quran, ada pesan lain, persaksian tentang kalam atau pena yang tak lain merupakan simbol dari “membaca dan menulis”. Lagi-lagi, hal ini menegaskan tempat sangat terhormat bagi penalaran dan pemikiran. Hal itu bermakna pula bahwa membaca dan menulis, keberaksaraan dan keterbacaan adalah laku kewajiban.
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini dunia dan Indonesia di dalamnya, sedang melaju pada pergerakan perubahan yang cepat dan tak terduga. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah dilalui, karena pada realitasnya Indonesia bermigrasi secara tiba-tiba dari kondisi yang praliterer melompat menuju pascaliterer. Apalagi tradisi kita awalnya berangkat dari tradisi lisan, kebiasaan oral, atau kelisanan.