“Perlu dipahami persoalan suap di lingkungan peradilan bukan sekadar persoalan klasik yang penyelesaiannya hanya dengan cara menjatuhkan putusan etik maupun pidana. Aparat peradilan memiliki sisi kemanusiaan yang juga membutuhkan pembinaan simultan dan siraman rohani untuk menghidupkan nurani yang kadangkala jauh dari nilai-nilai etis,” ungkapnya.
Farid menambahkan, hakim tidak hanya didorong untuk meningkatkan keilmuan, tapi juga menyeimbangkan kekuatan nilai dan etika profesi hukum. Independensi peradilan harus diikat dengan pertanggung-jawaban (akuntabilitas), yakni dapat mempertanggungjawabkan pekerjaan profesionalnya kepada kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
“Pengawasan juga tentu lebih efektif apabila MA bersinergi dengan KY dalam upaya menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Pemberian sanksi hendaknya tanpa diskriminasi dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Pembinaan dan pengawasan yang efektif ini sebagai pintu masuk mewujudkan akuntabilitas publik tanpa mengganggu independensi hak,” ungkapnya.
Langkah pencegahan juga harus terus digalakkan dalam rangka menjaga kemuliaan profesi hakim. Agar setiap hakim dapat menginternalisasi nilai-nilai dalam KEPPH dan menjadikan KEPPH sebagai norma, maka perlu ada pelatihan bagi hakim yang bertujuan membentuk karakter hakim. Salah satunya melalui pelatihan KEPPH.