OLEH TJAHJONO WIDARMANTO
Pancasila merupakan sebuah falsafah yang sangat historis. Historis sebagai sebuah peristiwa dan historis dari sudut makna (Oetama:2010). Sebagai sebuah peristiwa, Pancasila merupakan momentum komitmen pengakuan kebangsaan yang sudah final. Sedangkan sebagai sebuah makna adalah pengakuan bahwa Pancasila merupakan sebuah cita-cita kebangsaan yang agung, ideal dan menuju tujuan yang nyata. Pancasila dalam ungkapan Perancis merupakan I’ idee pousse a I act: ide dan cita-cita besar yang harus diwujudkan dalam kenyataan.
Warisan yang Terabaikan
Sebagai sebuah komitmen pengakuan jati diri kebangsaan yang sarat historis sekaligus cita-cita besar yang harus diwujudkan, seharusnya Pancasila tak hanya dijaga namun harus direfleksikan dalam realitas.
Namun dalam kenyataannya ajaran nilai-nilai luhur Pancasila yang terwadahi dalam sila-silanya belumlah mewujud secara sungguh-sungguh. Nilai-nilai dalam Pancasila tidak pernah diaktualisasikan dengan sepenuh hati, konkret.
Jangankan dilaksanakan dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, keinginan untuk membicarakan dan mewacanakan Pancasila saja cenderung diabaikan. Pancasila terkesan ditelantarkan dan disia-siakan. Warisan luhur yang dipuja dan diakui dunia ini dianggap sudah basi, sudah ketinggalan jaman, dianggap kuno dan tidak relevan. Jangankan diaktualisasikan, dipraktikkan, dan direfleksikan dalam realitas berbangsa dan bernegara, bahkan dihayati, dihafal, dan dipahami pun tidak!
Ketidaksungguhan dalam mewacanakan, mempraktikkan, dan mengaktualisasikan Pancasila membuat kita semakin berjarak dangan ideologi sendiri. Tak hanya berjarak, bahkan mulai muncul kasak-kusuk dan diam-diam muncul pemikiran dan godaan menggantikannya dengan ideologi lain.