[Review Film] Wage: Berjuang dengan Lagu Kebangsaan
Film ‘Wage’ diawali dengan ‘noir’ adegan masa kecil Wage yang memang begitu kelam, hingga pada kematiannya di tahun 1938 yang mengidam-idamkan kemerdekaan pun ditampilkan begitu ‘noir’ dalam film berdurasi 120 menit ini. Namun, semangat dan cita-citanya mengidam-idamkan Indonesia merdeka sungguh terasa dan hidup. Begitulah Film ini memberikan pesan untuk membangkitkan semangat bangsa Indonesia yang di tengah gejolak situasi saat ini.
Adegan demi adegan terjalin kuat antara Wage dan Frits (Teuku Rifnu Wikana) yang berkejar-kejaran. Sisi lain dari sisi Wage sebenarnya bukan saja karena hidupnya yang menjadi seorang komponis biasa, namun lebih kepada Wage yang juga seorang jurnalis dan penulis juga.
Di film ini ditampilkan begitu gamblang perjuangan Wage dalam menghasilkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan proses kreatif yang panjang. Wage sempat frustasi, tapi semangatnya kembali dipompa Gadis (diperankan Prisia Nasution), sang pujaan hati.
Tak hanya mencipta lagu, Wage juga menulis berjudul ‘Perawan Desa’, sebuah roman sejarah yang memantik semangat perjuangan para pahlawan. Bahkan karya lain dari Wage yang belum sempat diterbitkan yaitu Darah Muda dan Kaum Fanatik.
Film ‘Wage’ mengingatkan kita pada syair lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang lengkap tiga stanza. Ada dua stanza yang “diumpetin”, dimana stanza kedua sebagai doa dan stanza ketiga mengejawantah makna perjuangan. Selama ini kita hanya pakai satu stanza yang sebagaimana kita nyanyikan bersama setiap upacara bendera di sekolah maupun di instansi pemerintahan. Jika kita menyanyikan tiga stanza itu artinya kita menyanyikan ‘Indonesia Raya’ tiga kali, dengan dua syair “yang baru” :