“Pengungsi dan orang-orang yang terlantar di negara mereka masing-masing sudah mencapai angka dengan rekor yang tinggi. Perencanaan memberikan beberapa cara untuk memperkirakan risiko pemindahan yang berhubungan dengan bencana, seperti pengungsiaan,” kata direktur IDMC Alexandra Bilak.
Hal tersebut juga dimaksudkan untuk membantu perencana kota dalam menyelidiki keamanan kota dan daya tahan pembangunan daerah terhadap ancaman bagi jutaan orang yang tinggal di sana.
Kepala Data dan Analisis IDMC Justin Ginnetti mengatakan, terdapat hubungan yang kuat antara risiko terdampak bencana dan bertempat tinggal di lokasi dengan arus urbanisasi yang cepat.
Seperti orang miskin yang banyak tinggal di pinggiran kota, di daerah rawan banjir atau di sepanjang tepian sungai, Ginnetti mengatakan bahwa kota yang perencanaannya lebih baik dapat mengurangi mereka dari terdampak bencana.
Dia membandingkan Jepang dan Filipina, dua negara tersebut memiliki jumlah masyarakat terdampak badai topan yang sama. Jepang membangun lebih banyak perumahan yang kokoh dan lebih sedikit menghadapi jumlah masyarakat yang mengungsi akibat bencana daripada Filipina, di mana rumah-rumah kurang mampu bertahan terhadap guncangan, katanya.
“Kami tidak ingin semua orang berpikiran bahwa pengungsian akibat bencana itu ditakdirkan Tuhan dan tak terelakkan,” pungkasnya. (Ant)