Penundaan Pembentukan Densus Tipikor Harus Jelas
Dua hal itu, terang Neta, yakni program pencegahan korupsi dengan cara melakukan sosialisasi dan kampanye ke jajaran pemerintahan maupun masyarakat. Selain itu, membuat strategi maupun pengkajian-pengkajian untuk menghilangkan korupsi dari negeri ini.
Kedua, melakukan penindakan dengan tegas dan terobosan baru agar terjadi efek jera di masyarakat, terutama di lingkungan aparatur negara, untuk tidak melakukan korupsi.
“Terobosan itu antara lain menjadikan aparatur penegak hukum sebagai langkah utama pemberantasan korupsi. Setelah itu jajaran partai politik di legislatif dan pemerintahan,” imbuh Neta.
Kemudian, tegas Neta, mengenakan pasal hukuman mati bagi para koruptor, terutama bagi aparatur penegak hukum yang melakukan korupsi.
Jika langkah dan terobosan ini yang dilakukan Densus Anti Korupsi tentu tidak akan terjadi tumpang tindih dengan KPK, Kejaksaan dan Dittipikor Polri. Sebab ketiga institusi tersebut, menurut Neta, tidak pernah melakukannya.
Neta menambahkan, tentunya Densus perlu diperkuat dengan fasilitas dan dana operasional yang setara dengan KPK. Densus harus dikasih target waktu untuk menunjukkan kinerjanya. Jika targetnya tidak tercapai harus dievaluasi dan bila perlu dibubarkan.
IPW, lanjut Neta, sangat menyayangkan keputusan Presiden yang menunda keberadaan Densus Anti Korupsi. Meski demikian penundaan ini harus dijadikan evaluasi oleh Polri untuk membangun soliditas dan koordinasi serta untuk memperkuat konsep pemberantasan korupsinya, sebelum kelahiran Densus Anti Korupsi.
Strategi dan terobosan baru memerangi korupsi dan memusnahkan korupsi di negeri ini sangat diperlukan. Jika Densus tidak membawa konsep dan strategi baru, kata Neta, sebaiknya tidak perlu dilahirkan karena akan sia-sia dan membebani anggaran negara.