Dirjen Penguatan Inovasi ini mengatakan, bidang yang banyak dikembangkan menjadi ‘startup’ terkait dengan pangan, kesehatan serta Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Beberapa sudah go internasional, seperti ‘startup’ dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengembangkan alat untuk diagnosis demam berdarah dan dari Universitas Brawijaya yang mengembangkan alat diagnosis diabetes yang sudah dipakai Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
“Karena sudah dipakai WHO ,ya digunakan di mana-mana karena harganya juga sangat murah, tidak tahu negara mana saja yang menggunakannya. Ini sama dengan garam farmasi, sekarang Jepang ambil semuanya dari kita,” ujar Jumain.
Sebelumnya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir, mengatakan sebuah ‘startup’ juga harus dimulai dengan riset. Jika hasil riset lolos dari TRL 6 yang artinya telah melalui riset dasar dan telah menjadi prototipe dan diketahui memberikan nilai tambah bagi masyarakat untuk menjadi inovasi, maka ini sudah siap dijadikan ‘startup’.
“Akan sangat baik jika diterapkan ke seluruh peneliti untuk bisa hasilkan inventor-inventor di Indonesia. Di Silicon Valley itu semua ‘start up’, kalau Jepang ada di Chukuba, kalau Iran ada di Pardis Technopark dan beberapa jadi ‘startup’ global,” ujar dia.
Nasir mengatakan, coba didorong agar semua teknologi yang diciptakan, baik yang tepat guna, dijadikan “startup” sehingga bernilai ekonomis. “Tidak ada gunanya kalau inovasi tapi harga mahal dan durabilitas pendek serta pembuatannya susah”, katanya.
Ia juga berpesan, terkait harga inovasi yang dikembangkan juga harus kompetitif dibandingkan yang lain. Poin ini sangat penting untuk mengembangkan ‘startup’. (Ant)