Pakar Sarankan Pemerintah Pertimbangkan Kembali Harga Beras 

“Tapi, kenapa kemudian biayanya jadi sangat besar? Karena dipengaruhi oleh biaya pengemasan, pencampuran, dan pengangkutan. Tidak akan mungkin kenaikan harga cuma Rp2.000, apalagi untuk beras level premium,” katanya.

Apalagi, lanjutnya, beras premium banyak dibeli konsumen di super market, bukan di pasar tradisional. Karena di tingkat pasar modern ada istilah biaya promosi, sehingga harus ada kenaikan 30 persen dari harga awal.

“Makanya, harga beli di produsen dengan harga jual di super market itu bisa dua kali lipat. Karena super market dan distributor ingin mengambil untung. Dari 100 persen biaya yang dikeluarkan, 30 persen untuk biaya, maka 70 persen untuk keuntungan yang dibagi dua (produser dan peritel),” katanya.

Apakah mungkin dari Rp7.000 dijual sesuai HET Rp9.000? Jika ini hanya diperlakukan untuk beras, bagaimana dengan produk pertanian lainnya, apakah akan diperlakukan sama? Sehingga muncul pertanyaan, apakah kalkulasi HET sudah benar atau belum?

Firduas menambahkan, selama ini pemerintah beramsumsi subsidi yang diberikan sudah banyak kepada petani. Tetapi, dari hasil riset yang diakui oleh pemerintah, efektivitas subsidi tersebut dipertanyakan, sampai tidaknya ke petani.

Misalnya, untuk pupuk Rp30 triliun, dari hasil penelitian bersama Bank Dunia, petani yang merasakan subsidi hanya 40 persen. “Bisa berkaca pada pengalaman Thailand dan Vietnam dalam melakukan subsidi. Pemerintah hadir untuk membiaya selisih harga di tingkat petani, bukan subsidi pupuk yang dilakukan Pemerintah Indonesia,” katanya.

Karena itu, lanjut Firdaus, optimalisasi peran Bulog atau badan pangan nasional menjadi wacana ke depan yang harus didorong. Atau sesuai dengan perundang-undangan pangan, yang saat ini sudah dikonsepkan oleh Presiden untuk membentuk badan pangan nasional.

Lihat juga...