“Kanjeng Nabi dulu juga sering menyembunyikan aib dari para sahabat-sahabatnya di muka umum. Tapi, di belakang, mereka tetap dihukum,” katanya.
![]() |
Gus Taqi |
Menurut Gus Taqi, etika seperti itulah yang selama ini hilang. Karenanya, setiap aib para pemimpin justru diumbar, sehingga menyebabkan situasi semakin tidak kondusif. Masyarakat menjadi semakin resah, dan merasa kehilangan panutan dan tak percaya lagi dengan pemimpin.
“Jika aib pemimpin disebar-luaskan, maka dampak yang timbul itu justru kontra produktif. Pemimpin atau siapa pun yang keliru itu cukup dihukum saja, tidak perlu diumbar kejelekannya yang justru membuat masyarakat semakin dipenuhi rasa kebencian,” jelasnya.
Dalam tradisi pesantren pula, tambah Gus Taqi, para santri, bahkan kiai, selalu diajarkan untuk berpikir positif dan tidak serta-merta terburu menjatuhkan hukuman kepada seorang pemimpin. Jika ada pemimpin yang salah, kiai akan mendoakannya, agar pemimpin itu segera menyadari kekeliruannya. Mendoakan pemimpin agar menyadari kekeliruannya itu sudah otomatis mendoakan pula seluruh rakyatnya.
“Karena kalau pemimpin itu kemudian sadar, maka rakyat pun juga akan ikut menerima kebaikan. Tapi, kalau setiap kesalahan atau aib pemimpin itu diumbar, seluruh rakyat juga akan terkena dampaknya, menjadi mudah tersulut emosi, mudah terhasut, dan akhirnya justru menambah konflik dan masalah,” jelasnya.
Situasi bangsa dan negara yang demikian, lanjut Gus Taqi, tidak bisa diubah dalam waktu singkat. Pembentukan moral dan etika serta aklak adalah pendidikan karakter yang membutuhkan waktu lama. Karena itu, sistem pendidikan saat ini yang hanya menonjolkan kecerdasan otak, harus segera diubah. Harus diperbanyak muatan pendidikan aklak dan wawasan kebangsaan.