Monumen Sebtu Legi, Sejarah Perjuangan Warga Dusun Kemusuk Melawan Belanda

Editor: Koko Triarko

YOGYAKARTA – Monumen Sebtu Legi di kompleks Balai Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, menjadi saksi sekaligus pengingat perjuangan gagah berani warga Dusun Kemusuk dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.

Tepatnya beberapa sesaat sebelum peristiwa Serangan Umum 1 Maret di masa Agresi Militer Belanda ke II tahun 1948-1949 terjadi.

Bangunan setinggi 2 meter dan lebar 1,5 meter berbentuk menyerupai segitiga. Di bagian atasnya terdapat patung burung Garuda yang terlihat kokoh berdiri, meski tampak sidikit kusam karena termakan usia.

Monumen Sebtu Legi dibanguan warga desa untuk mengenang tragedi berdarah pada Jumat 7 Maret 1949.

Saat itu, pasukan Belanda yang marah dengan brutal menyerang dan menembaki warga Dusun Kemusuk secara membabi-buta.

Hal itu dilakukan karena mereka tidak menumukan sosok Letkol Soeharto, Komandan Brigade 10/Wehrkreise III beserta pasukannya. Belanda menganggap warga dusun Kemusuk menyembunyikan Letkol Soeharto.

Dalam peristiwa berdarah itu, tercatat ada ratusan orang warga Kemusuk yang tewas. Termasuk kepala keamanan atau Jogoboyo dusun Kemusuk, Joyo Wigeno, serta ayah tiri Soeharto sekaligus ayah kandung Probosutedjo, yakni R Atmopawiro ,yang ditembak di bagian kepala.

Mereka serta para pejuang lainnya kini dimakamkan di Makam Pejuang Somenggalan Kemusuk.

Tokoh masyarakat Dusun Kemusuk, sekaligus Pengurus Museum HM Soeharto, Gatot Nugroho, menceritakan peristiwa sejarah itu terjadi, baik berdasarkan sejumlah sumber primer seperti saksi hidup ataupun sumber lain seperti buku sejarah, di antaranya “Gemuruh Kemusuk”.

Awalnya, Kemusuk hanyalah dusun kecil biasa yang berada di desa Argomulyo, Sedayu, Bantul.

Lihat juga...