Jakarta — Komisi VI DPR RI, mempertanyakan aturan baru Pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Aturan tersebut tertuang dalam PP Nomor 72 Tahun 2016, Tentang Perubahan Atas PP Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penata-usahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, yang memungkinkan saham BUMN bisa berpindah tangan kepada siapa pun.
Darmadi Durianto
Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto, saat ditemui di Senayan, Jakarta, Jumat (13/1/2017), mengatakan, aturan tersebut dinilainya sangat berbahaya, karena saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan kepada siapa pun tanpa diketahui oleh DPR. “Pemerintah telah melangkahi kewenangan DPR. PP Nomor 72 itu cepat dibuat sebagai jalan pintas bagi Kementerian BUMN untuk menggolkan holding. Aturan Pemerintah itu jelas melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara,” tegasnya.
Darmadi menjelaskan, berdasarkan Pasal 46 Ayat 1 menyebut, barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggara tugas pemerintahan, tidak dapat dipindah-tangankan, baik dengan cara dijual, ditukarkan, dihibahkan ataupun disertakan. Pemerintah harus mendapat persetujan DPR. “Pemindahan barang milik negara di atas seratus miliar rupiah itu harus mendapat persetujuan DPR,” jelasnya.
Tanpa pengawasan DPR, lanjut Darmadi, akan berpotensi lepasnya BUMN. Untuk itu, Komisi VI DPR menolak PP 72 tersebut, karena bertentangan dengan Undang-undang Pasal 46.
Dalam PP tersebut, tertulis di Pasal 2 A, yakni: (1) Penyertaan Modal Negara (PMN) yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Mulai tahun 2017 kan sudah tidak ada PMN, jadi biar cepat dapat akses dana, maka PP itu dibuat. Hari Senin kita akan rapat internal menyikapi PP tersebut. Disatukan dulu pendapat fraksi-fraksi, baru ambil keputusan, mengingat PP itu berpotensi menabrak UU,” pungkasnya.