
“Kalau kelas 5 dan kelas 6 meereka harus bersekolah di Hokor. Jadi tidak heran kalau banyak anak yang tidak sekolah lagi setelah kelas 4 karena dari Iligai harus jalan kaki 6 kilometer,” papar Ambros.
Meja dan kursi yang ada di kelas hasil karya tangan warga sekitar menggunakan kayu lokal. Meja kursinya sangat sederhana dan banyak yang sudah mulai terlihat rusak dan berlubang dimakan rayap. Meja dan kursi guru pun sama jeleknya.
Papan tulis berwarna hitam dipaku di tembok kelas permanen. Dalam ruangan ini juga ditaruh alat-alat olahraga seperti matras, jaring dan bola volly serta bola kaki dan lainnya. Selain itu, ruangan ini pun merangkap jadi perpustakaan dan ruangan guru dan kepala sekolah.
Untuk mengajar 40 murd di SDN Todang, disediakan tenaga pengajar 2 orang dengan status PNS, yakni Anselmus kepala sekolah serta ibu Adensia sebagai guru. Dua lainnya merupakan guru honor lulusan SMA, dimana satunya merupakan warga Todang dan sedang kuliah di Universitas Terbuka (UT).
Para guru pun harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer menuju sekolah. Guru berjalan dari tempat tinggal mereka di dusun Hokor di sebelah utara kampung Todang. Bisa menggunakan sepeda motor, namun jalanan sangat buruk dan hanya bisa sampai di kali mati di dekat kampung lalu berjalan kaki.
Memperingati hari pendidikan nasional anak-anak sekolah di Todang pun tetap semangat bersekolah, meski bangunannya sederhana. Jika dilihat kondisi sekolah ini sederhana dan unik. Murid KBM di Posyandu dan satu ruangan dipakai untuk dua kelas dan belajar bersamaan.
“Tanggal 2 Mei merupakan hari pendidikan nasional.Kami minta pemerintah bisa bangun jalan dan sekolah kami, agar kami tidak kesulitan untuk ke sekolah dan belajar dengan tenang,” pinta Nong Stephen sambil tertunduk malu.
(Ebed de Rosary)