Cirebon dan Pilihan Strategi Kebudayaan

SELASA, 10 MEI 2015
CATATAN PERJALANAN—Anekdot “Sunda murtad, Jawa bukan” yang dilekatkan oleh beberapa orang untuk melabeli Cirebon —sebuah Kabupaten/Kota di Pantura Jawa Barat—, tentu tidak serta merta mencerminkan kawasan itu mengalami kegamangan jati diri secara kultural. Cirebon merupakan zona kultural dengan karaktreristik khusus dan memiliki identitas budaya kuat yang berbeda dengan kawasan lainnya. Cirebon bukanlah zona kultural abu-abu yang terlarut dan meleleh oleh bayang-bayang kekuatan kultural dari luarnya.

Pelabelan bernada minor itu sebenarnya merupakan pengakuan atas ketangguhan “otoritas kultural” Cirebon, yang dalam sejarahnya mampu bertahan di tengah jepitan dua kutub budaya kekuasaan besar (Majapahit – Sunda). Bahkan ditengah jepitan dua kutub ketegangan kekuasaan itu, Cirebon mampu tampil sebagai salah satu cagar peradaban dengan segala keunikan karakteristiknya.
Cirebon memiliki budaya kekuasaan dalam wilayah kulturalnya sendiri, melalui eksistensi Kasultanan Cirebon. Cirebon juga memiliki budaya kreatif termasuk dalam menggerakkan ekonominya melalui industri batik yang sudah berlangsung lama dan masih eksis hingga saat ini. Juga memiliki tradisi literasi (ilmu pengetahuan) ditandai adanya Babad Tanah Cirebon dan beragam karya literasi lainnya.
Jika peradaban dikonsepsikan sebagai pranata yang ditopang sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan iptek, maka dengan potensi yang dimilikinya itu menandakan Cirebon tegak dengan peradabannya sendiri. Wilayah kultural Cirebon pada akhirnya menyebar ke Kabupaten Kota Cirebon, Majalengka, Indramayu dan Kuningan.
Pada masa lalu, Cirebon merupakan zona demarkasi (zona aman) yang eksistensinya menjadi penghalang berlangsungnya benturan dua budaya kekuasaan besar, Majapahit dan Sunda. Majapahit sendiri —dengan segala obsesinya mempersatukan nusantara— kemudian bertransformasi menjadi Kasultanan Demak, Pajang dan kemudian Mataram. Cirebon mampu bersahabat dengan baik, bahkan menjadi mediator, peluruh ketegangan, sekaligus perekat dua kutub budaya kekuasaan yang bersitegang itu.
Mengingat potensi ketegangan itu melibatkan eksistensi pengendali utama nusantara pada saat itu, Majapahit dan para pelanjutnya, maka peran perekat Cirebon merupakan penyangga dari peradaban nusantara itu sendiri. Bisa di katakan, Cirebon memainkan peran sebagai stabilizer ketegangan politik yang melibatkan pemain utama kendali nusantara.
Setidaknya deskripsi seperti itulah —stabilizer—, gambaran peran masa lalu Cirebon yang saya pahami. Eksistensi masa lalu Cirebon itu bisa kita gali dari berbagi literatur maupun kesadaran kesejarahan masyarakat Cirebon.
Pertanyaan yang sering muncul dalam benak saya ketika mengunjungi atau menyusuri sudut-sudut Cirebon, adalah:  “Berada dalam peran kultural seperti apa Cirebon hari ini”?. “Apa impian-impian bersama yang saat ini sedang bergemuruh dan diperjuangkan rakyat Cirebon yang diyakini sebagai jalan meraih kemakmuran segenap warganya?”.
Pertanyaan lebih jauh adalah, “masihkah Cirebon memiliki kekuatan sebagai stabilizer dan pengurai kesemrawutan beragam permasalahan skala luas sebagaimana peran-peran kesejarahannya dulu?”. Apa kontribusi Cirebon dalam menyangga peradaban bangsa pada saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama sebenarnya juga harus kita sodorkan kepada wilayah-wilayah lain di Indonesia dalam memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa saat ini maupun masa-masa mendatang. Bukankah kemajuan bangsa kita akan sangat ditentukan oleh kemajuan wilayah-wilayahnya. Terutama kemajuan zona-zona penyangga. Cirebon merupakan salah satu zona penyangga itu.
Spirit Kacirebonan dan Potensi Ekonomi
Secara kultural, Cirebon hari ini masih kokoh dalam pijakan tradisinya sendiri. Spirit Kacirebonan —secara kuat mengakar di wilayah Cirebon dan merembes ke Indramayu, Majalengka maupun Kuningan— itu, dibentuk oleh filsafat dan visi spiritualitas Sunan Gunung Jati. Filsafat dan visi spiritual itu melebur, menafasi dan menyatu dengan budaya masyarakat Cirebon. Sunan Gunung Jati sendiri merupakan pelanjut Dinasti Siliwangi, penguasa Pasundan.
Kasultanan Cirebon pun sebagai representasi generasi penerus Sunan Gunung Jati masih memiliki posisi unik hingga saat ini. Walaupun tidak terintegrasi sebagai pengendali pemerintahan formal —sebagaimana format keistimewaan Yogya—sehingga bisa memaksakan pengaruhnya melalui institusi formal, keberadaan Kasultanan Cirebon—yang juga terbelah dua sebagaimana Yogya dan Solo itu— tidak terasing dari masyarakatnya. Ia masih benar-benar penguasa kultural dan bukan sebatas monumen hidup dari sisa-sisa monarqi masa lalu.
Kasultanan Cirebon masih merupakan lokomotif dinamika budaya Kacirebonan, yang diikuti pula kesetiaan masyarakatnya berpegang teguh pada budaya Kacirebonan. Berbeda dengan kebanyakan sisa-sisa monarqi di Indonesia lainnya, yang keberadaanya terasing/terputus/tidak menyatu lagi dengan orientasi baru budaya masyarakat sekitarnya. Banyak sisa-sisa monarqi di Indonesia yang eksistensinya hanya sebatas monumen budaya dan tidak mampu lagi menyemaikan sekaligus mentransformasikan sistem nilai yang dipegang teguhnya menjadi budaya bagi masyarakat sekitar yang mengelilinginya. Banyak sisa-sisa monarqi di Indonesia bisa di katakan sebagai “opera tanpa penonton” lagi. Cirebon bukan sisa-sisa monarqi yang seperti itu.
Cirebon masih merupakan zona kultural yang kokoh dengan akar budaya lamanya. Maka kesadaran kesejarahan akan “keharusan peranannya” sebagai salah satu penyangga peradaban besar, nusantara, tentu masih tertanam kuat pula.
Hanya saja, sejak amandemen UU 1945, sebagaimana juga dialami para tokoh-tokoh kultural lainnya, Kasultanan Cirebon mengalami “amputasi peran” dari keterlibatannya menentukan arah kebijakan negara. Sebelum amandemen, para tokoh kultural memiliki kapling dalam utusan golongan di MPR yang perananya menentukan Garis Besar Haluan Negara. Kini para tokoh kultural, termasuk Sultan Cirebon harus ikut menjalani kontestasi politik dalam memperebutkan kapling DPD yang peranannya kurang begitu signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan negara. Sejak amandemen UUD 1945, fungsi MPR sebagai penyusun haluan negara, dihapuskan.
Secara ekonomi, Cirebon dan sekitarnya memiliki potensi cukup besar. Kabupaten/Kota Cirebon memiliki potensi pertanian dan kelautan. Keberadaannya ditopang Indramayu, Kuningan dan Majalengka sebagai kawasan pertanian subur.
Cirebon juga memiliki ekonomi kreatif berbasis budaya, seperti halnya batik. Sebagai zona budaya yang setia pada budayanya sendiri, batik Cirebon tumbuh dan dibesarkan skala industrinya oleh kesetiaan masyarakatnya sendiri sebagai pasar (pengguna). Cirebon juga banyak memiliki situs-situs wisata spiritual yang selama ini menjadi magnet bagi penyuka wisata spiritual.
Pada masa lalu, Cirebon merupakan salah pelabuhan logistik, pintu suplai logistik bagi kawasan luas pantura di antara dua kutub pertumbuhan ekonomi kala itu, Semarang (Jateng) dan Batavia. Potensi itu pada saat ini sebenarnya juga bisa ditumbuhkan sebagai salah satu pengungkit kemajuan ekonomi Cirebon dan kawasan sekitarnya.
Secara geografis, Cirebon pada saat ini merupakan titik hubung utama jalur darat, pusat-pusat pertumbuhan besar Pulau Jawa. Cirebon merupakan hub antara Jakarta dan Kota-kota di Jateng dan Jatim. Cirebon juga berada dalam jarak strategis dengan Bandung, pusat pertumbuhan utama Jawa Barat. Namun potensi-potensi strategis Cirebon sebagai titik transit ini belum mampu dioptimalkan untuk memperluas jalan kemakmuran bagi warganya dan warga kawasan-kawasan sekitarnya.
Cirebon hari ini memang masih zona kultural yang independen dengan segala kesadaran peran kesejarahannya. Namun peranannya dalam turut serta mendorong kemajuan bangsa, termasuk dalam bidang ekonomi, tampaknya masih sedang mencari bentuk. Cirebon masih sedang berusaha mendefiniskan ulang peran sentralnya, khususnya sebagai salah satu kawasan penyangga ekonomi nasional yang bergairah.
Pendekatan Struktural Politis
Upaya mengembalikan peran penting Cirebon, tampak dari upayanya melalui pendekatan struktural politis yang mengemuka pada era reformasi dengan mengusung agenda berdirinya Provinsi Cirebon. Meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka.
Mungkin pilihan pendekatan struktural politis itu dilatari pemikiran bahwa dengan Cirebon menginduk pada provinsi Jawa Barat sebagaimana selama ini, rentang kendali pemerintahan terlalu jauh dan terlalu lamban untuk bisa mendorong kemajuan wilayah ini. Bandung harus membagi banyak fokus untuk mendorong kemajuan Jabar, maka merupakan pilihan rasional jika Cirebon menyiapkan pemerintahannya sendiri. Melalui provinsi sendiri, kemajuan Cirebon dan wilayah sekitarnya, bisa dihela atas kecepatan inisiatif sendiri. Barangkali perspektif seperti itu yang melatari mencuatnya ide Provinsi Cirebon.
Hanya saja, pendekatan struktural politis itu semakin lama semakin kehilangan momentum. Gairah otonomi daerah pada awal-awal reformasi yang diterjemahkan oleh banyak daerah dengan pembentukan daerah otonom baru atau provinsi baru, tidak serta merta dilihat sebagai pilihan yang selalu tepat untuk mendorong kemajuan daerah. Realitas nasional juga dihadapkan pada beban anggaran yang amat besar untuk proses-proses pemekaran, penyediaan infratruktur pemerintahan dan gaji pejabat untuk pemerintahan yang baru dimekarkan. Kecuali wilayah-wilayah yang amat luas dan kebutuhan percepatan daerah-daerah yang selama ini masih relatif terbelakang —sebagaimana kasus wilayah-wilayah luar Jawa, khususnya perbatasan—, pemekaran bukan lagi ide menarik.
Ide pemekaran Provinsi Cirebon kabarnya juga membentur kendala kultural di mana Majalengka merupakan Kabupaten yang masyarakatnya berbahasa Sunda. Realitas itu digunakan pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui pemekaran sebagai salah satu hambatan kultural bagi ide pembentukan Provinsi Cirebon.
Upaya mengembalikan peran penting Cirebon juga tampak dari kampanye kebijakan untuk menghidupkan kembali fungsi pelabuhan di sisi utara bagian Timur, menjadi pintu masuk suplai logistik ke kawasan ini. Keberadaan pelabuhan besar itu dipercaya akan mampu menjadi instrumen pengungkit kemajuan wilayah Cirebon dan sekitarnya melalui pengendalian distribusi barang. Namun sebagaimana kasus-kasus pembangunan infrastruktur besar dalam era reformasi, upaya itu dihadapkan pada kendala pembiayaan. Bahkan untuk pembangunan pelabuhan-pelabuhan besar yang secara nasional menjadi prioritas, realisasinya masih tertunda-tunda.
Dari serangkaian upaya untuk membangkitkan peran sentralnya, baik melalui pendekatan struktural politis (pemekaran Provinsi sendiri) maupun upaya-upaya mendorong pembangunan instrumen-instrumen pengungkit kemajuan wilayah, Cirebon dapat dikatakan masih jalan ditempat. Cirebon masih harus bekerja keras menggali inisiatif agar mampu menampilkan dirinya sebagai zona ekonomi yang menggairahkan dan menjadi penggerak bagi kemakmuran wilayah sekitarnya.
Strategi Kebudayaan
Cirebon barangkali harus menengok cara lain selain pendekatan struktural politis maupun obsesinya membangun instrumen-instrumen pengungkit kemajuan wilayah melalui pembangunan mega proyek infratruktur yang terkendala anggaran. Sebagai zona kultural dengan identitas budaya yang kuat, takpaknya Cirebon perlu meneguhkan ikhtiarnya melalui Strategi Kebudayaan.
Secara praktis, Cirebon perlu mengkreasi dirinya sebagai destinasi wisata budaya yang bukan hanya skala nasional, akan tetapi juga pasar wisata internasional. Cirebon perlu mengintegrasikan diri dalam destinasi wisata internasional 5B, Bandung, Borobudur (Yogya dan Sekitarnya), Bromo (Malang Raya), Banyuwangi dan Bali. Melalui agenda-agenda budaya skala besar yang diselenggarakan secara intensif dan periodik, Cirebon tentu akan mampu menggerakkan Industri pariwisatanya sebagai sarana pendongkrak kemakmuran warganya.
Selain memiliki karakteristik budaya yang khas, Cirebon juga diuntungkan secara geografis karena kedekatannya dengan Jakarta dan Bandung. Jakarta merupakan pasar wisata domestik yang amat besar yang selama ini menjadikan Pulau Seribu, Bandung, Yogya-Solo, sebagai destinasi liburan jarak dekat. Cirebon bisa menjadi penyedia alternatif bagi kejenuhan wisatawan yang secara tradisional menjadikan destinasi-destinasi tersebut sebagai langganan berlibur.  Jakarta – Cirebon bisa ditempuh 3 jam dengan Kereta Eksekutif. Melalui tol, Cirebon juga bisa ditempuh hampir sama lamanya dengan orang-orang Jakarta bepergian ke Bandung.
Selain memperbesar dan memperbanyak agenda-agenda budaya yang layak jual bagi wisatawan, Cirebon juga perlu memperbanyak paket-paket perjalanan wisata, baik bagi Cirebon sendiri, maupun destinasi-destinasi sekitarnya yang terintegrasi dengan paket-paket wisata budaya di Cirebon. Travel Jakarta-Cirebon mungkin juga perlu ditumbuhkan sebagaimana jasa-jasa travel Jakarta-Bandung. Cirebon kini sudah mulai tumbuh hotel-hotel berbintang sehingga mampu menampung wisatawan-wisatawan dalam jumlah besar, namun masih harus ditumbuhkan lagi.
Selain penggelembungan kapasitas wisata Budaya, sebagai salah satu bentuk strategi kebudayaan, perlu juga didorong peningkatan kualitas perguruan-perguruan tinggi dan akademi-akademi di Cirebon. Keberadaan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang baik, akan mendorong peningkatan kapasitas intelektual masyarakat, sehingga tergerak inisiatifnya secara kolektif untuk menginovasi kemajuan daerahnya. Rasanya tidak berlebihan jika Cirebon kelak juga memiliki universitas negeri.
Strategi kebudayaan ini tentu tidak menegasikan upaya-upaya advokasi kebijakan untuk mengoptimalkan potensi-potensi pengungkit kemajuan yang lain, seperti rencana pembangunan pelabuhan maupun Bandar Udara di Majalengka.
Semoga Cirebon segera bangkit dengan segala kemegahan budayanya…

Lihat juga...