Sejarah Pergolakan Tanah Rencong di Anjungan Provinsi Aceh TMII

RABU, 23 MARET 2016
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : Fadhlan Armey /  Sumber Foto: Miechell Koagouw

TMII JAKARTA — Seulawah, nama pesawat dengan kode RI-001, jenis Douglas-C47 milik Pemerintah Republik Indonesia dibeli pertengahan tahun 1948 dengan dana sumbangan rakyat Aceh. Pada mulanya dipergunakan sebagai jembatan udara untuk menghubungkan daerah-daerah de fakto Jawa dan Sumatera, demi menunjang perjuangan fisik Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan.
?Replika Rumoh Aceh lengkap dengan Lonceng “Cakra Donya” disisi bangunan, di anjungan Provinsi Aceh TMII
Pada akhir tahun 1948 dimana Yogyakarta sebagai Pusat Pemerintahan Republik Indonesia termasuk lapangan udara Maguwo (sekarang – Adisucipto) diduduki tentara Belanda sehingga pesawat Seulawah atau RI-001 dioperasikan di luar negeri dalam usaha mencari dana untuk Perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, yang berbentuk Usaha niaga penerbangan pertama Indonesia bernama ‘ Indonesian Airways’ yang beroperasi di Burma. Sekarang, replika pesawat bersejarah hasil sumbangsih rakyat Aceh untuk negara Indonesia terpampang kokoh di pintu masuk anjungan Pemerintah Provinsi Aceh di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta timur.
Provinsi Aceh memiliki sebuah obyek wisata sejarah mengagumkan bernama Mesjid Raya Baiturrahman. Mesjid ini awalnya merupakan Mesjid Kerajaan Aceh yang di bakar oleh Belanda di tahun 1873 saat Belanda mendeklarasikan perang terhadap Kerajaan Aceh, pada tanggal 20 Maret 1873. Inilah awalnya malapetaka yang tidak saja banyak menimbulkan kerugian materiil tapi juga jatuhnya korban di kedua belah pihak terutama dikalangan rakyat Aceh. Perang yang memakan waktu lebih dari 40 tahun ini adalah yang terlama dan terdahsyat dalam sejarah Kolonial Belanda. Kenangan malapetaka Perang Aceh tertulis di sebuah Surat Besar di atas pintu masuk ruangan dalam Anjungan Provinsi Aceh TMII.
Di awal perang Aceh, Seorang Jenderal Belanda bernama Kohler yang didatangkan pertama kali untuk memimpin pasukan Belanda tewas tertembak peluru pejuang Aceh. Setelah itu silih berganti berdatangan para Jenderal Belanda memimpin tentara kolonial untuk menundukkan sepenuhnya wilayah Aceh. Salah satu Jenderal Belanda dalam pertempuran Aceh berikutnya adalah Jenderal Karel Van Der Heijden yang dijadikan bahan olok-olok oleh para Pejuang Aceh sebagai ‘Jenderal mata satu’ karena mata kirinya mengalami cacat permanen sampai akhir hayatnya akibat ditembus peluru Pejuang Aceh dalam pertempuran hebat di Benteng Batee iliek, Samalanga, Aceh.
?Dokumentasi diri dua sosok panglima perang Teuku Umar dalam Perang Aceh tahun 1873 yakni Pang Jatim dan Keucik Abaih, abadi di Anjungan Provinsi Aceh TMII
Di Zaman pergolakan, rakyat Aceh dalam menentang penjajahan bangsa asing banyak lahir tokoh-tokoh Pejuang rakyat Aceh yang akhirnya disahkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia, mereka adalah :
1. Teuku Umar (1854-1899) asal Meulaboh Aceh, berbekal senjata tradisional belati Aceh bernama Rencong, ia dikenal dengan aksi pembebasan kapal ‘Nicero’ milik Inggris namun membelot di tengah laut setelah sebelumnya membunuh seluruh tentara Belanda. Beliau gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda pimpinan Jenderal Van Der Dussen di Meulaboh, tahun 1899.
2. Cut Nyak Dhien (1848-1908), asal Lampadang, Aceh, istri ke-3 Teuku Umar yang melanjutkan perjuangan suaminya dalam perang gerilya setelah Teuku Umar gugur dalam pertempuran di tahun 1899. Beliau berhasil ditangkap Belanda dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai akhir hayatnya.
3. Cut Nyak Meutia (1870-1910), asal Pirak, Aceh utara, seorang prajurit wanita Aceh yang terkenal dalam perang gerilya melawan Belanda di hutan sepanjang wilayah Paya Cicem sampai Gayo. Beliau gugur dalam bentrokan dengan pasukan khusus Belanda (marechausee) di Alue Kurieng.
4. Teungku Chik di Tiro (1836-1891), asal Tiro, Pidie, seorang tokoh sentral Perang Sabil di Aceh dalam melawan kolonialisme Belanda. Beliau sangat sulit ditundukkan sampai akhirnya meninggal karena dicurangi setelah memakan makanan yang sudah dibubuhi racun secara diam-diam oleh Belanda.
5. Panglima Polim (meninggal 1940), asal Banda Aceh, dikenal dengan kepahlawanannya bahu membahu dengan Sultan Mahmud Syah dalam pertempuran terbuka tahun 1873 antara rakyat Aceh melawan Belanda di dekat Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Sejarah panjang perjuangan masyarakat Kota Banda Aceh ini terpampang rapih di seluruh dinding anjungan Pemerintahan Provinsi Aceh di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Seluruh pejuang-pejuang Aceh sampai para Jenderal Belanda yang menjadi korban keheroikan rakyat Aceh dapat ditemui pengunjung di sana. Namun, sejarah rakyat Aceh bukan sekedar kerasnya konflik tanah Aceh, melainkan turut dibaluti eksotisme budaya dan adat yang luar biasa. Aceh dikenal dengan sebuah tarian yang sudah mendunia yaitu Tari Saman. Seni tari ini memadukan suara gerakan hentakan tangan untuk menghasilkan sebuah perpaduan gerakan yang menarik dalam satu kesatuan. Sesuai dengan sejarah perjuangan rakyat Aceh yang bahu-membahu dalam mengusir penjajah mulai dari Portugis, Inggris, Belanda, sampai Jepang. Busana adat tradisional masyarakat Aceh juga tidak terlalu banyak perbedaan dari 13 suku asli Tanah Aceh yang ada disana. Anjungan Pemerintah Provinsi Aceh memuaskan keingintahuan pengunjung dengan menampilkan beragam busana tradisional masyarakat Aceh dari kabupaten Pidie, Tamiang, Singkil, Aceh Besar, Gayo, Langsa, Kota Banda Aceh, sampai Subulussalam.
Budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh sangat konservatif, yaitu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan agama. Provinsi Aceh banyak dikenal orang dengan julukan “serambi mekah”, hal ini terjadi karena Aceh merupakan pintu gerbang utama masuknya agama Islam ke bumi Nusantara. Nafas Islam yang sangat kental dalam keseharian rakyat Aceh terlihat dari bahwa daerah ini adalah satu-satunya wilayah otonomi yang menjalankan Syariat Islam dalam mengatur setiap sendi keharmonisan masyarakatnya. Wujud keharmonisan di Aceh itu sendiri dapat dilihat dari berkembangnya juga beberapa Agama di daerah tersebut, yaitu Kristen yang dianut para pendatang dari Tanah Batak, Jawa dan etnis Tionghoa yang juga otomatis berkembang pula pemeluk agama Konghucu di Aceh.
Di anjungan Pemerintah Provinsi Aceh terdapat replika Rumah adat Aceh yang di sebut dengan Rumoh Aceh. Rumah panggung setinggi kurang lebih 3 meter dari permukaan tanah ini memiliki 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari Rumoh Aceh adalah Seuramoe Keue (serambi depan), seuramoe teungoh (serambi tengah) dan seuramoe likot (serambi belakang). Didalam Rumoh Aceh terdapat “tempat duduk pengantin” dengan hiasan ragam sulaman tradisional khas Aceh yang diapit oleh dua buah meriam. Disisi Rumoh Aceh terletak megah lonceng “cakra donya” yang merupakan hadiah dari negeri Tiongkok di tahun 1414.
Di belakang Rumoh Aceh dapat pula ditemui Rumah Cut Meuthia (rumah asli), dipindahkan dari tempat asalnya ke Anjungan Provinsi Aceh TMII. Rumah panggung ini telah berusia 175 tahun namun masih tampak kokoh, tingginya kurang lebih 2 Meter, memiliki 16 tiang penyanggah dengan pintu masuk depan-belakang nya melalui kolong rumah. Konon pintu tersebut dibuat demikian untuk keamanan penghuninya. Tidak lupa bagian menarik lainnya yaitu tempat masyarakat Aceh menyimpan hasil panen padi mereka yang disebut Kroeng Pade yang berada tepat di samping Jengki, yaitu alat tradisional khas aceh untuk mengolah bumbu tradisional khas Aceh. Alat ini sendiri sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Aceh karena perkembangan zaman yang begitu pesat. Selain itu terdapat pula rumah bale model “meunasah” sebagai sebuah Mushola untuk para pegawai Anjungan serta pengunjung menunaikan sholat lima waktu. Berbagai kuliner Aceh terkenal seperti Martabak durian khas Aceh Utara, emping Melinjo khas Kabupaten Pidie, Sop Sum-sum tulang sapi kota Langsa, sampai Mie Aceh yang terkenal ke berbagai pelosok nusantara semakin menambah nuansa eksotisme Aceh di area kuliner sisi anjungan Pemerintah Provinsi Aceh TMII.
?Rumah kediaman Cut Meuthia berdiri abadi di anjungan provinsi Aceh TMII, dibawa langsung dari tempat asalnya
Anjungan Provinsi Aceh selain bercerita tentang keindahan yang menarik hati bagi pengunjung, namun juga menceritakan bagaimana ketegaran, keteguhan hati, pengorbanan, penderitaan, darah, pengkhianatan, airmata, dan kisah cinta sejati melalui setiap benda yang ada di dalam bangunan utama maupun area anjungan Provinsi Aceh. Dan akhirnya, anjungan Provinsi Aceh memberikan sebuah cinderamata abadi bagi setiap pengunjung yang datang, yakni sebuah pelajaran mengenai ‘keteguhan hati’ sebagai seorang manusia, yaitu sebuah yang telah diberikan Rakyat Aceh dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga bagi bangsa Indonesia dalam sejarah panjang perjalanan dan perjuangannya.
Lihat juga...