HORAS !! Salam Bagimu Sekalian dari Anjungan Sumatera Utara TMII

RABU, 23 MARET 2016
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : Fadhlan Armey /  Sumber Foto: Miechell Koagouw

JAKARTA TMII — HORAS !! salam bagimu !! Merupakan sebuah ungkapan salam persahabatan di antara masyarakat Batak Sumatera Utara yang tertulis di atas menara Rumah Adat Batak Toba Anjungan Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
?Diorama suasana Dapur Batak di Anjungan Sumatera Utara TMII, seorang wanita membuat api di tungku tradisional
Pada Tanggal 15 April 1948, melalui Undang-Undang Presiden Republik Indonesia ditetapkanlah pembagian sumatera menjadi tiga provinsi besar yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan yang akhirnya ditetapkanlah tanggal 15 April 1948 sebagai Hari Jadi Sumatera Utara dengan Kota Medan sebagai Ibukota Provinsi hingga saat ini.
Sumatera Utara sendiri merupakan gabungan antara Suku Batak, Suku Melayu, dan Suku Nias. Hal ini dapat kita saksikan langsung di anjungan Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah yang menampilkan Rumah Adat Batak Toba, PakPak Dairi, Simalungun, Rumah Adat Nias, dan Rumah Adat Melayu. Adapun Suku Melayu yang ada di Tanah Batak itu, merupakan bagian besar Suku Minangkabau dari Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat.
Dengan panduan seorang pemandu wisata anjungan, Cendana News mencoba menggali lebih dalam. Dimulai dengan Rumah Adat Batak Toba yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran dua kali lebarnya dan berdiri diatas kolong yang memiliki jarak kurang lebih 1,70 Meter dari dasar tanah ke permukaan bawah lantai bangunan. Untuk memasukinya harus melewati sebuah tangga dari bawah kolong bangunan dimana tangga tersebut terbuat dari kayu berjumlah ganjil dengan dikelilingi enam tiang baris depan. Bagian ruangan dalam terdiri dari beberapa bagian dengan namanya masing-masing.
” Masing-masing bagian didalam bernama Jabu Bona, Jabu Suhat, Jabu Tappiring, dan Jabu Soding. Dan keunikan lain adalah terdapat patung pada setiap ujung dinding muka-belakang bernama Patung Gajah Doppak yang dipercaya oleh masyarakat Batak Toba berfungsi menolak bala serta menghalau musuh,” pungkas Sitorus pemandu wisata anjungan kepada Cendana News.
Di dalam Rumah Adat Batak Toba, pengunjung disuguhi dengan berbagai replika benda-benda menarik lainnya dari masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara. Salah satu yang paling menarik dan mencuri perhatian setiap pengunjungnya adalah replika Dapur Batak Toba dan Dapur Tapanuli Utara. Peralatan didominasi dengan bahan kayu dan bambu. Ragam replika peralatan tersebut seperti Sapa atau piring makan malam, Humbar untuk menyimpan bumbu pedas, Tabu-Tabu untuk menyimpan air minum yang dibuat dari buah labu, geyang-geyang sebagai wadah atau tempat untuk mengeringkan ikan.
Replika menarik lainnya dari Batak Toba di anjungan Sumatera Utara adalah :
1. Buku Lak Lak yang terbuat dari kulit kayu dan ditulis dengan darah binatang yang habis diburu di zaman dahulu.
2. Pong, atau boneka adat perdukunan yang berbau mistis
3. Mejan, bentuk arca dari batu yang menggambarkan wujud nenek moyang dari suatu marga yang memiliki kemampuan serta pengetahuan tertentu.
4. Sahang, kerajinan Batak Toba berbentuk tanduk, dibuat dari tulang kerbau dan pada zaman dahulu kala banyak digunakan sebagai tempat ramuan obat-obatan tradisional.
5. Pinggan Pasu, sejenis alat dapur yaitu tempat makan atau piring yang dipakai oleh masyarakat Batak Toba.
Di sudut kiri replika dapur Batak Toba dan Tapanuli Utara, dapat dinikmati beragam replika senjata-senjata yang digunakan masyarakat Batak dan Nias antara lain :
1. Piso Halasan : sejenis keris yang digunakan Raja atau Pemimpin desa (Luat).
2. Bodil Jojal : senjata bedil prajurit Batak saat perang melawan kolonial Belanda.
3. Piso Tumbuk lada : sebagai keperluan upacara serta kelengkapan busana kaumpria dalam acara tertentu.
4. Pedang Nias : sebuah pedang panjang melengkung dengan gagang yang dihiasi taring-taring babi hutan yang berarti pedang tersebut telah membunuh babi hutan sebanyak taring yang ada pada gagang pedang itu.
” Horas Tondi Madingin, Pir Tondi Matogu ! ” sebuah tulisan pepatah Batak Toba yang artinya kurang lebih : ‘ Salam untuk Jiwa nan Kuat sentosa,  sejahteralah jiwa nan kokoh teguh ‘ terpampang di Ruang utama Rumah Adat Batak Toba diatas replika peralatan musik Batak.
“Pepatah salam khas diatas bisa kita kaitkan dengan tarian khas Batak Toba yaitu Tari Tor Tor yang digunakan sebagai tari penyambutan dengan salam damai bagi tamu agung dan tuan rumah, sekaligus merupakan unsur magis yang sangat kental didalam tarian tersebut, karena biasanya ada patung bernama ‘si gale-gale’ yang ikut bergerak-gerak (seperti menari) saat penari sedang manortor (menari tor tor). Salam perdamaian dalam tari Tor Tor tersirat dari tangan si penari yang tidak boleh melewati batas setinggi bahu keatas, karena jika melewati batas itu artinya si penari mengirim tantangan negatif kepada pengunjung seperti tantangan kebatinan atau ilmu perdukunan sampai tantangan perang. Jadi sangat hati-hati sekali jika ingin melakukan tarian Tor-Tor, tidak sembarangan,” demikian ulasan Sitorus terkait Tari Tor Tor Batak Toba.
Rumah adat berikutnya adalah Rumah Adat Pak Pak Dairi, berfungsi sebagai tempat permusyawaratan serta tempat mengadakan upacara-upacara adat. Pada rumah adat ini terdapat bentuk segitiga yang menggambarkan susunan adat istiadat Puak Pak Pak dalam kekeluargaan yang terdiri atas : Senina (saudara kandung laki-laki), Berru (saudara kandung perempuan), dan Puang (kemenakan).
“Selain itu, dari struktur bentuk atap Rumah adat Pak Pak Dairi juga menyimbolkan dua arti yang berbeda sesuai bentuknya yaitu : Tumpuk Bubungan dengan simbol ‘Caban’ atau kepercayaan Puak Pak Pak, serta Tanduk Kerbau diujung bubungan sebagai simbol semangat kepahlawanan Puak Pak-Pak,” Sitorus melanjutkan penjelasannya.
Di sisi kiri pintu masuk anjungan berdiri kokoh Rumah Adat Simalungun atau disingkat RAS. Diresmikan pada hari sabtu, tanggal 23 April 2005 oleh tiga figur besar masyarakat Batak Simalungun, yaitu Prof. DR. Ir. Bungaran Saragih sebagai tokoh masyarakat Simalungun, Bupati Simalungun kala itu Ir. John Hugo Silalahi, dan Ketua Perhimpunan Masyarakat Simalungun DKI periode 2002-2007 yang bertindak sebagai Ketua Panitia Pembangunan RAS yaitu Drs. H. L. D. Damanik.
RAS bentuknya hanya dijumpai di Pematang Purba yang merupakan tempat tinggal Raja. Bangunan RAS bagian depan-belakang adalah tidak sama. Rumah Balai Buttu, Rumah Bolon adat, Balai Bolon adat memiliki pintu masuk yang sama-sama menghadap timur, sedangkan bangunan lainnya yang kecil menghadap kearah barat.
RAS berdiri diatas kolong yang disanggah oleh tiang-tiang tegap dan balok-balok penghubung mendatar yang disusun memanjang serta melebar berselingan setinggi kurang lebih 2 Meter.
“Dipintu masuk ada tulisan : ‘Habonaron Do Bona’ yang berarti Kebenaran itu adalah Pokok. Kalimat ini merupakan tata tuntunan perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Simalungun yang mengajarkan tentang nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa, Manusia, Alam, serta hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya,” pungkas Sitorus.
?Horas ! Salam khas masyarakat Batak kepada siapapun yang ditemuinya yang artinya ‘Salam Bagimu’ terpahat dipuncak menara Rumah Adat Batak Toba Anjungan Sumatera Utara TMII
Di seberang Rumah Adat Simalungun, berdiri bangunan bernuansa Melayu, yaitu Rumah Adat Melayu. Bentuk Rumah adat melayu dapat dijumpai hampir diseluruh kepulauan Indonesia dan menempati daerah-daerah pantai yang merupakan pusat-pusat lalulintas perdagangan serta interaksi masyarakat asli dan pendatang sejak zaman dahulu kala. Ciri-ciri umum Rumah adat melayu adalah berkolong rendah dengan tinggi kurang lebih 1 Meter. Denahnya sederhana dan tidak memiliki pola tertentu. Dinding-dindingnya terbuat dari papan dan pada setiap “Lis Plang” dihiasi ukiran lebah bergantung serta ragam hiasan tumbuh-tumbuhan, burung, dan juga ragam hiasan naga berjuang yang letaknya diatas setiap pintu dan masing-masing jendela.
Terakhir adalah Rumah Adat Nias yang terletak bersebelahan dengan Rumah adat Pak Pak Dairi. Dari bentuknya, maka rumah adat Nias disebut juga Si Ulu yang terdapat di kampung Bawo-Mataluo. Bentuk Si Ulu pada umumnya diapit oleh rumah Si Ila-ila, kemudian rumah rakyat biasa. Rumah Si Ulu nan megah tinggi tersebut berdiri kokoh diatas tiang-tiang penyangga setinggi kurang lebih 5 Meter. Atapnya terbuat dari atap rumbia, dengan garis tengah tiang-tiang tersebut kurang lebih 70 sentimeter. Untuk balok-balok sebagai penguat bangunan di kolong rumah tersebut diletakkan melintang disetiap tiang dengan ukuran panjang kurang lebih 30 Meter tanpa sambungan. Disisi Rumah adat Nias terdapat batu setinggi kurang lebih 2 Meter yang digunakan masyarakat Nias dalam kebudayaan mereka yang sangat mendunia, yaitu Fahombo atau disebut juga dengan lompat batu.
“Adat budaya Nias itu sangat unik dan menarik, dan menurut penelitian arkeolog LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) diduga Suku Nias memiliki asal-usul dari sebuah daerah di kawasan Asia Tenggara sahabat negara kita sendiri, yaitu Vietnam,” kata Sitorus lagi sambil menunjuk batu tinggi untuk Fahombo kepada Cendananews.
Meniti anak tangga untuk masuk ke rumah utama pameran benda-benda seni dan budaya masyarakat Sumatera utara di tengah area anjungan Sumatera utara TMII merupakan sebuah petualangan luar biasa bagi para pengunjung. Didalam ruangan terletak berbagai replika benda menarik masyarakat sumatera utara lainnya seperti, Gantang Perburihen untuk tempat cuci tangan pada waktu makan, Abal-abal yaitu tempat menaruh garam dan ikan bagi anak-anak, peralatan menyirih seperti Kerandam dan Petak Ranto, Santik untuk membuat api, Pisau tumbuk lada, dan Sekin atau pisau multifungsi. Dapat pula dilihat Kampil Gempang Sawang yang merupakan wadah untuk menempatkan perlengkapan menyirih bagi pria dan wanita.
Seni ukir masyarakat Batak sudah tidak perlu diragukan lagi. Salah satunya adalah hasil karya leluhur tanah Karo yaitu Tembut-Tembut atau disebut juga Gundala-Gundala yang merupakan salah satu hasil pahatan Pirei Sembiring dari tanah Karo dengan bahan dasar kayu gireh yang lurus dan lembut teksturnya. Semula digunakan untuk menakut-nakuti burung di sawah (karena bentuknya yang menyeramkan) namun seiring perkembangannya akhirnya dijadikan kesenian tari atau seni upacara topeng di lingkungan keluarga Pirei Sembiring tanah Karo sampai diikuti seluruh warga dan menjadi tradisi khas Tanah Karo sampai sekarang.
Masyarakat Sumatera Utara adalah Suku atau Etnis yang gemar akan kesenian tarik suara serta permainan santai. Hal ini terbukti dengan replika Ragam alat musik seperti Sarunai, Farfisa, Seruling pendek, Gung, Kulcapi, Gendang singindungi yang berfungsi mengatur cepat lambatnya irama lagu, ragam alat-alat permainan seperti Dadu yang merupakan alat permainan judi tempo dulu, serta Satur yang digunakan masyarakat Batak Karo sebagai permainan taktik strategi (kemungkinan inilah yang kemudian disebut permainan Catur).
Peralatan menumbuk padi juga tidak kalah menarik. Busan, Tabu-Tabu, dan Tumba merupakan replika alat-alat menumbuk sekaligus menyimpan padi masyarakat Sumatera Utara. Disamping itu ada lagi replika menarik lainnya seperti tempat menyimpan tembakau, Sulangat yaitu alat menangkap ikan disungai/danau, Ranjang Pengeci Eicah untuk menangkap burung eicaha atau burung bunga (simbulan takal), sampai sebuah tongkat panjang bernama Tunggal Panaluan yang merupakan Tongkat Magis yang menampakkan ide-ide, estetika, serta keahlian seni dari pembuatnya.
Sumatera utara adalah salah satu provinsi yang memiliki keragaman serta keunikan tersendiri terkait busana adat mereka. Salah satu nama kain yang mendunia dari Sumatera Utara adalah Ulos dari Batak Toba dan Uis dari Batak Karo. Di anjungan Sumatera Utara TMII, dapat kita lihat ragam Uis Karo mulai Uis Gara-Gara sebagai penutup kepala wanita dan selimut anak-anak, Uis Julu sebagai sarung kaum pria, Uis Gara Jongkit, beka buluh, nipes mangiring, ragi mbacang, nipes padang rusak, nipes benang iring, dn Uis pementing. Uis Gara atau Uis Adat Karo berasal dari bahasa Karo yaitu Kain Merah, sehingga Uis karo biasanya didominasi dengan warna merah, hitam, serta putih dengan ragam hiasan tenunan warna emas dan perak.
Pakaian adat pengantin Simalungun mengedepankan sisi tradisional dengan tudung kepala wanita yang terbuat dari Ulos Suri-suri. Lain halnya dengan Pakaian adat pengantin Melayu yang memiliki nama-namanya tersendiri, yaitu Pakaian pria dinamakan Teluk Belanga, Pakaian Wanita dinamakan Baju kebaya Deli sedangkan hiasan kepalanya disebut Sunting Melayu.
Busana adat pengantin Tapanuli Tengah sudah banyak dipengaruhi suku-suku pendatang dikarenakan letaknya dipesisir barat pulau Sumatera utara yang banyak berhubungan dengan pedagang luar. Sedangkan Pakaian adat pengantin Tapanuli Utara mewakili kesederhanaan dan tingginya peradaban nenek moyang suku Batak, hal ini terpancar dari Ulos yang dikenakan mempelai pria ditenun dan diwarnai sendiri yang memakan waktu sampai 3 (tiga) bulan, tanpa menggunakan jahitan.
Busana adat pengantin Karo mewakili keunikan Tanah Batak, yaitu banyaknya perhiasan yang dipakai mempelai wanita, dan tudungnya dibuat sedemikian rupa hingga bercadar. Pakaian adat pengantin yang berwarna gelap dapat dijumpai pada pakaian adat pengantin Dairi. Didominasi warna hitam, terbuat dari Ulos asli Tanah Dairi, dan kain kepala wanita terbilang unik karena dapat berfungsi pula sebagai penahan silau cahaya matahari.
Terakhir adalah pakaian adat pengantin Nias yang dinamakan Baru Oholu untuk yang dikenakan pria dan Oroba Si’oli untuk yang dikenakan wanita. Corak warna banyak didominasi warna kuning atau emas yang seringkali dipadukan dengan warna-warna hitam, merah, dan putih. Masing-masing warna tersebut memiliki filosofinya tersendiri, yaitu : Kuning atau emas melambangkan kejayaan kekuasaan, kemakmuran, dan kebesaran para Raja dan Bangsawan Nias. Warna merah melambangkan darah serta keberanian para prajurit Nias. Warna Putih melambangkan kesucian, kemurnian, dan kedamaian dari para pemuka agama Nias. Sedangkan hitam melambangkan ketabahan dan kewaspadaan tinggi rakyat Nias.
?Replika Tembut-Tembut atau disebut juga Gundala-Gundala, hasil pahatan khas seniman pahat Tanah Karo, Pirei Sembiring
Sumatera Utara memiliki Tokoh Besar yang berpengaruh terutama di Tanah Batak, yaitu Si Singamangaraja XII, Ia dikenal sebagai Pahlawan Nasional Sumatera Utara, wafat di desa si Onom Huden di pinggir bukit Aek sibulbulen pada tanggal 17 Juni 1907, akibat pertempuran sengit melawan belanda. Untuk menghormati semangat perlawanannya Pemerintah Belanda memakamkan Si Singamangaraja XII dalam sebuah upacara militer di Silindung, Toba pada tanggal 22 Juni 1907.
Tokoh berikut yang secara tidak langsung menjadi peletak dasar keagamaan di Tanah Batak adalah Ingwer Ludwig Nommensen, seorang misionaris penyebar agama Kristen Protestan asal Jerman. Meninggal di Sigumpar Toba Samosir pada tanggal 23 Mei 1918. Ia kemudian dikenal sebagai Bapak Gereja sekaligus cikal bakal pendirian HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).
Lihat juga...