SENIN, 8 FEBRUARI 2016
Penulis: Koko Triarko / Editor: Gani Khair / Sumber foto: Koko Triarko
CATATAN JURNALIS — Hari ini, Senin (8/2/2016) umat Tri Dharma merayakan tahun baru Imlek 2567. Selain bersembahyang bersama di tengah malam tepat pergantian tahun, berbagai tradisi untuk memeriahkan tahun baru Imlek juga digelar. Salah satunya yang sudah populer dan menjadi ikon utama adalah pergelaran Naga-Barongsai atau Liong-Samsie.
Di Yogyakarta, perayaan Imlek sudah 10 tahun ini disemarakkan pula dengan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY). Dalam acara budaya itu, digelar beragam tradisi khas Tionghoa seperti Festival Naga (Dragon Festival), wayang kulit khas akulturasi Jawa-China yang disebut wayang Potehi, dan sebagainya. Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta dipusatkan di Kampung Ketandan yang berada di kawasan Malioboro.
Dipusatkannya kegiatan budaya Tionghoa di Kampung Ketandan, karena kampung itu merupakan cikal-bakal pemukiman etnis Tionghoa pertama di Yogyakarta. Disebut Ketandan, karena di kampung itu dahulu ada seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta beretnis Tionghoa yang bergelar Tandha. Dari kata ‘tandha’ itu, maka tempatnya disebut ketandan. Dan, tahun ini Pekan Budaya Tionghoa akan diselenggarakan pada 18-22 Februari 2016.
Hubungan etnis Tionghoa dan Jawa, sejak zaman Sultan Hamengku Buwono (HB) II memang sudah sangat erat. Bahkan, Klenteng Fuk Ling Miao atau juga disebut Vihara Budha Prabha di Gondomanan, Jalan Brigjen Katamso Nomor 3, Yogyakarta, merupakan hadiah dari Sultan HB II kepada permaisurinya yang berasal dari keturunan China.
Sebagaimana dikatakan Ketua Yayasan Klenteng Fuk Ling Miao, Ang Ping Siang alias Angling Wijaya, Klenteng yang kerap pula disebut Klenteng Gondomanan itu dibangun pada tahun 1846 dan tanahnya merupakan hadiah dari Sultan HB II. Dalam sejarahnya, Sultan HB II yang bertahta sejak 1792 berkali-kali diasingkan oleh Belanda, sehingga berkali-kali pula Sultan HB II naik turun tahta.