Gereja Tua Sikka, Bangunan Kuno Gaya Eropa Berpadu Motif Inkulturatif Tenun Ikat

Lukisan tenun ikat motif Gabar di sekeliling tembok altar.Motif ini biasa digunakan pada sarung para raja Sikka.
Pada tahun 1896, urai Gregorius Tamela Karwayu (67) saat disambangi di rumahnya, Minggu (31/01/2016), pater Yohanes Engbers bersama Raja Sikka Andreas Djati da Silva mulai melakukan pembangunan gereja tua Sikka. Gereja dirancang oleh pater Dijkmans yang juga merancang bangunan gereja Katedral Jakarta dengan arsiteknya bruder Leuvenberg,SJ yang saat itu bertugas di Larantuka. Bruder Leuvenberg sebut Goris, sapaan salah satu tokoh sejarah yang menetap di Sikka ini, dibantu oleh Tiburtius Risi Parera selaku tukang batu serta tukang kayunya Moat Kensong da Cunha Solapung.
Kayu jati sebanyak 360 kubik untuk membangun gereja didatangkan dengan kapal besar dari Jawa. Karena kapal tersebut tidak dapat berlabuh  di dekat pantai maka kayu-kayu tersebut dibuang ke laut dan ditarik oleh umat hingga ke darat.

Beberapa genteng di bagian samping dan depan masih kusam dan belum di cat ulang karena ketiadaan dana
Selain kayu jati, semen dan besi beton juga didatangkan dari Jawa, sementara pasir dan batu disumbangkan umat beriman. Dalam masa pembangunan gereja, Raja Andreas meninggal dunia sekitar tanggal 15 Juni 1898 sehingga kerjasama ini dilanjutkan penggantinya Raja Yosef Mbako Ximenes da Silva. Pembangunan gereja pun rampung dan peresmiannya dilakukan lewat misa meriah malam Natal, 24 Desember 1899. 

Tiga Kali Renovasi

Sejak dibangun,gereja tua Sikka berukuran panjang 47 meter dan lebar 12 meter ini sudah tiga kali mengalami renovasi. Menurut yang Goris dengar dan saksikan, atapnya pernah diganti tahun 1935. Pertama dibangun atap memakai seng yang tebal tapi karena uap air laut kadar garamnya sangat tinggi, maka diganti dengan seng yang lebih tebal lagi. Tapi itu juga  sebut lelaki kelahiran 12 Maret 1948 ini, tidak bertahan lama sehingga diganti pakai genteng tahun 1953 oleh pater Nicholaus Beyer,SVD. 
Genteng–genteng tersebut  dibawa oleh kapal motor Theresia dari Ende dan setelah dipakai masih kurang sehingga diproduksi di Sikka. Kaca–kaca gereja yang pecah tidak bisa diganti karena menurut seorang ahli kaca di Sikka yang dididik Belanda bernama Domi Batafor, kaca tersebut tidak lagi diproduksi di Indonesia. Menjelang usia seabad, tahun 1999 gereja tua ini kembali dipugar.Genteng diturunkan, dicat ulang dengan warna senada dan dipasang kembali. Kayu–kayu penahannya yang sudah rusak diganti.

Lihat juga...