Prosesi panjang tersebut menjadikan Ngaben sebagai upacara pembakaran mayat di Bali yang saat disakralkan dan diagungkan, upacara ini adalah ungkapan rasa hormat yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal. Upacara ini selalu dilakukan secara besar besaran, tidak semua umat Hindu di Bali dapat melaksanakannya karena memerlukan biaya yang mahal.
Berdasarkan informasi yang Cendananews.com peroleh dari Ida Pedanda Made Gunung Agung, tradisi atau ritual Ngaben menurutnya ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda: 40-15. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa; ”Wahai manusia, badanmu yang dibuat oleh panca mahabhuta akhirnya menjadi abu dan atmanya akan mendapat moksa. Oleh karena itu, ingatlah nama Tuhan, yaitu AUM, ingatlah nama Tuhan AUM, dan ingatlah perbuatanmu.”
Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam hal ini kitab yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya harus dibuat menjadi abu agar atmanya mencapai moksa. Sehingga kita tidak ragu-ragu lagi terhadap pelaksanaan upacara ngaben, karena telah tersurat jelas dalam kitab suci kita, yang mana prosesi ngaben tersebut mendoakan agar atma yang mayatnya diaben mendapatkan moksa (kembali kepada Sang Pencipta). Pada intinya pengertian ngaben demikian. Namun dalam peraturan pelaksanaannya yang tersurat di dalam beberapa lontar, salah satu di antaranya adalah lontar Yamatattwa, merinci lebih jelas lagi. Sampai pada tingkatan ngaben, yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi umat (kemampuan ekonomi).
Disamping itu, yang tidak kalah penting dan menariknya adalah pelaksanaan ngaben sendiri melibatkan semua sanak saudara dan masyarakat lingkungan (banjar). Makanya pelaksanaan ngaben kelihatan meriah, kadang-kadang megah.