Nyeblok, Kearifan Lokal yang Masih Dipertahankan

CENDANANEWS(Lampung)-Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Provinsi Lampung. Luasan lahan pertanian sawah yang ada di Lampung Selatan berdasarkan data BPS tercatat sekitar 44.731,50  hektar pada tahun 2012 dari total luasan lahan sawah di Lampung yang mencapai 342.778,36.
Setiap daerah pertanian memiliki sistem berbeda beda termasuk dalam pola tanam dan panen. Sistem yang berbeda tersebut terlihat dari mulai cara pengairan, penanaman hingga panen. Seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Penengahan Lampung Selatan tepatnya di Desa Pasuruan Kecamatan Penengahan.
Salah satu sistem pola tanam hingga panen yang masih dipertahankan di Penengahan adalah sistem “nyeblok”. Nyeblok merupakan istilah yang sering digunakan oleh para petani di daerah ini.
Berdasarkan uraian Mitro (78) salah seorang tokoh masyarakat di Dusun Sumbersari Desa Pasuruan, sistem nyeblok merupakan sistem di mana pemilik lahan sawah akan meminta warga lain yang tak memiliki sawah untuk ikut menanam di lahan sawah pemilik.
“Zaman awal dibuka lahan pertanian di sini, belum banyak yang memiliki sawah sehingga diminta ikut menanam padi dengan sistem bagi hasil setelah panen,” ungkap Mitro kepada Cendananews.com Selasa (7/4/2015).
Mitro yang memiliki lahan sawah puluhan hektar di Desanya tersebut mengaku biasanya dalam satu hektar lahan sawah ada beberapa orang yang ikut nyeblok. Pada masa awal masa tanam para penyeblok yang rata rata kaum wanita akan menanam berdasarkan jatah luas yang ditentukan atau berdasarkan kemampuan untuk menanami lahan yang telah disiapkan.
“Tak ada batasan harus menanami berapa petak tapi biasanya sudah dibagi oleh pemilik sawah biar adil, selain itu kan ada yang mampu menanam lebih luas jadi tetap diberi kesempatan,” ungkap Mitro.
Setelah menanam, kaum wanita ini tidak diberi upah, cukup mendapat makan minum dari pemilik lahan karena sistem kerja ini bukan sistem kerja buruh tanam yang biasanya dibayar harian atau berdasarkan sistem borongan dan sistem petak. Kaum wanita akan menunggu hingga sekitar empat bulan masa tanam atau lebih menuju saat panen.
Selama masa menunggu tersebut warga bisa melakukan aktifitas lain berkebun. Sementara bagi kaum wanita yang memiliki keahlian untuk “matun” (Jawa) masih diminta untuk matun atau menyiangi rumput di lahan sawah warga lainnya dan sistem ini biasanya akan diupah dengan sejumlah uang.
Berdasarkan penuturan Mitro, sistem yang ada sejak tahun 80-an ini masih bertahan hingga sekarang, dari mulai upah matun sekitar Rp5.000, per petak atau per hari hingga saat ini bisa mencapai Rp 35.000,- tergantung kerja harian lepas atau terikat. Kerja harian lepas dimaksudkan pemilik tak memberi fasilitas makan bagi buruh, sehingga buruh matun membawa bekal dari rumah.
Selanjutnya sistem tanam yang dulu nyeblok oleh sebagian pemilik lahan pun bergeser ke pola buruh atau upah. Seperti halnya buruh matun dalam sekali tanam para buruh tandur (tanam) ini pun diupah harian atau berdasarkan luasan lahan dengan upah sekitar Rp 30.000,- hingga Rp 35.000,- perhari.
Selanjutnya saat masa panen, kaum wanita dan sang suami atau anggota keluarganya akan melakukan panen di lahan pemilik sawah. Setelah melakukan proses pemananean yang memakan waktus sekitar sehari hingga dua hari, maka hasil panen akan dibawa ke pemilik lahan.
“Inilah tradisi dan keistimewaan nyeblok, di mana nilai gotong royong, berbagi dari pemilik sawah ke warga lain  yang tidak punya lahan sawah, sehingga mereka juga memiliki beras akhirnya,” ungkap Mitro.
Sesampainya di pemilik lahan, gabah gabah tersebut akan di “bawoni” atau dibagi sesuai kesepakatan. Dalam sekali panen biasanya para penyeblok mendapatkan minimal satu karung, yang bisa dibawa pulang dan juga sang pemilik tentunya mendapat bagian lebih besar.
Proses panen merupakan sebuah rasa syukur, sehingga pemilik biasanya akan menyediakan makan yang lebih enak layaknya menjamu seorang tamu. Lauk pauk berupa opor ayam atau bebek akan menjadi menu bagi para “pengunjal” ataupun para pembawa gabah tersebut ke rumah.
Sistem gotong royong ini masih dipertahankan hingga sekarang, terutama menjadi sebuah nilai kebersamaan yang masih tetap lestari. Selain itu bagi warga yang tak memiliki lahan sawah sistem nyeblok, menjadi kesempatan untuk menabung, karena mereka bisa mengumpulkan karung demi karung gabah.
Berdasarkan pengalaman Warti (34), salah seorang warga yang mengaku tak memiliki lahan sawah, dalam sekali masa tanam ia mengaku memiliki sekitar 5 hingga 6 ceblokan, sehingga hasil padi yang diperolehnya saat panen pun lebih banyak.
Namun menurut Warti, sistem nyeblok ini sudah berkurang meski masih dipertahankan. Sistem pertanian modern yang serba cepat dimana dikerjakan dengan traktor, membuat segala sesuatunya sistem upah. Bahkan sistem membajak sawah yang dulu dikerjakan dengan kerbau atau manual dengan cangkul, kini pun bergeser.
Secara langsungpun berpengaruh pada sistem nyeblok yang beberapa bergeser ke sistem upahan, ungkap Warti. Konsekuensinya dari mulai masa tanam hingga masa panen pemilik pun menerapkan sistem upahan.
Menanam, matun, hingga ngunjal dan panen pun bergeser ke sistem upahan. Sehingga biaya produksi pemilik lahan padi pun semakin besar dan para buruh tanam, matun pun memperoleh uang, tapi tidak memperoleh gabah atau beras di akhir panen, melainkan uang.
“Meski tidak banyak, tapi tetap ada yang masih bertahan dengan sistem nyeblok ini,” tegas Warti.
Bahkan sisi positif sistem upahan masih dianggap menguntungkan bagi sebagian orang yang tak mau ribet, beberapa pemuda bahkan ikut menjadi buruh panen, buruh angkut dengan sistem harian atau berdasarkan luas lahan.
“Saya mendapat sekitar 500 ribu dalam sekali musim panen, karena banyak yang menyuruh saya untuk ikut panen dengan rata rata upah sekitar 40 ribu sekali panen,” ujar Winarso (23) yang dikenal dengan buruh panen di desanya.
Selain buruh tanam, ia pun masih mencari tambahan uang dengan menjadi buruh angkut yang dibayar berdasarkan perkaleng gabah yang diangkutnya. Sekali angkut perkalengnya dihargai Rp2.000,- sehingga ia bisa mendapatkan uang ratusan ribu dari aktifitas angkut tersebut.
Mitro, sebagai tetua di kampung tersebut mengaku pergeseran nilai atau sitem tersebut tak ada yang salah dan semuanya demi kesejahteraan warga. Apapun sistemnya dan tetap bertahannya sistem nyeblok tetap akan menjaga warga dari bahaya tidak memiliki gabah atau beras. Sementara bagi yang berpindah ke sistem upahan karena memang ingin mendapatkan uang dengan cara cepat.
“Upahan kan dibayar sehingga kerja sesudahnya dibayar, sementara nyeblok harus nunggu hasil setelah nyeblok,” ujar Mitro.
Ia berharap, sistem itu masih akan bertahan, sehingga desa yang dikenal dengan sistem pertanian yang masih lestari itu akan bertahan, sehingga Lampung Selatan bisa tetap menjadi lumbung padi di wilayah Lampung.
Sistem nyeblok terbukti ampuh menjaga masyarakat tetap memiliki stok bahan makanan berupa gabah, karena masih ada sistem berbagi dengan pemilik lahan sawah yang luas. Kearifan lokal untuk mempertahankan kedaulatan pangan yang ada, tetap harus dihormati sebagai bagian sejarah pertanian.

———————————————————-
Selasa, 7 April 2015
Penulis : Henk Widi
Editor   : ME. Bijo Dirajo
———————————————————-

Lihat juga...