TOLAKI. Sejarah, Identitas dan Kebudayaan

 Ini merupakan salah satu buku sejarah tentang suku asli Nusantara yang boleh dikatakan sebagai referensi akurat dan terlengkap yang pernah diterbitkan. Penulis saat ini menjabat sebagai Pembantu Dekan Bagian Kemahasiswaan Universitas Haluoleo (UHO) Kendari Sulawesi Tenggara. Basrin Melamba sebagai suku asli Tolaki yang merupakan suku terbesar di Sultra adalah dosen sejarah UHO merupakan alumni  magister Sejarah Universitas Gajah Mada.
Di buku ini dibahas lengkap mengenai asal usul keberadaan suku Tolaki sejak jaman Prasejarah berdasarkan bukti primer yang meliputi benda-benda peninggalan sejarah berupa artefak, fosil, lukisan gua, budaya lisan maupun kutipan dari cerita rakyat maupun sumber sastra tua. Basrin Melamba juga memiliki garis keturunan bangsawan dari asal usul Tolaki kerap mengkritik penulis sejarah suku Tolaki sebelumnya yang menuliskan sejarah hanya berdasarkan cerita rakyat/dongeng tanpa melakukan riset melalui sumber-sumber primer autentik.
Buku dengan 600 halaman ini dilengkapi dengan sumber referensi berupa dokumentasi foto, kutipan dokumen baik dalam maupun luar negeri hasil wawancara langsung  dan sumber lisan maupun tulisan lainnya terdiri dari 17 (tujuhbelas) Bagian. Buku ini mencakup perjalanan suku Tolaki sejak jaman Prasejarah,  terbentuknya Kerajaan Konawe hingga perjalanan dinastinya berikut hubungan dengan beberapa daerah kekuasaan maupun dengan kawasan sekitar termasuk Kerajaan Luwu, Kerajaan Mekongga di Kolaka, Kerajaan Bone hingga terbentuknya Kerajaan Laiwui akibat politik de vide et impera Kolonial. Tak hanya itu Basrin juga memaparkan asal mula migrasi masyarakat lokal majemuk pada Bagian ke-5 buku ini meliputi ekses perang Gowa dengan VOC dan Kerajaan Bone, migrasi orang-orang Cina, Arab serta suku-suku lainnya.
Pada Bagian ke-6 buku ini menceritakan tentang asal mula masuknya Islam ke sistem pemerintahan Konawe yang masih diperdebatkan. Bahkan pada bagian ke-7 Basrin mematahkan teori terdahulu berdasarkan bukti-bukti dokumen langka tentang awal mula masuknya agama Kristen ke daerah ini.
Basrin seperti ingin menjadikan buku ini sebagai referensi utuh kaledioskop perjalanan sejarah Sulawesi Tenggara khususnya suku Tolaki dengan menjabarkan masuknya penjajahan VOC berikut kolonialisasinya, dimulai-nya penjajahan Jepang dengan dampak sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Konawe, hingga masa kemerdekaan dan berbagai reaksi masyarakat menanggapi desas desus Proklamasi 1945 oleh Soekarno-Hatta.
Tak berhenti disitu Basrin memaparkan kondisi sosial politik paska kemerdekaan berikut konflik yang terjadi pada masa pemberontakan DI/TII, termasuk konflik dengan Bataliyon 718 Angkatan darat dimana pembaca dapat mengambil penilaian bagaimana karakter suku Tolaki dalam menerima kelompok pendatang.
Pada bagian akhir buku Basrin tak lupa memaparkan tentang asal mula terbentuknya kota Kendari berikut perkembangannya.
Buku ini tak saja memberikan informasi akurat mengenai sejarah dan kebudayaan suku Tolaki namun bisa menjadi cetak biru bagi lahirnya buku-buku selanjutnya yang membahas tentang kearifan Nusantara mengenai sistem demokrasi/pemerintahan, budaya gotong royong, serta identitas sebagai bangsa pelaut.
Kritik mengenai buku ini selain masih bersifat redaksional dan salah pengetikan dimaklumi karena masih cetakan pertama perlu dilakukan penyempurnaan untuk ilustrasi foto dan skema khususnya pada bagian sejarah Kerajaan Konawe. Selain itu apakah mungkin penulis ingin menerbitkan buku lanjutan tentang penemuan sangat menarik tentang gua-gua prasejarah yang memiliki informasi tak hanya artefak, namun juga fosil-fosil bahkan lukisan gua yang tersebar di seluruh wilayah bekas Kerajaan Konawe. Pada bagian awal buku ini Basrin hanya memaparkan secara singkat tentang gua-gua prasejarah itu karena masih belum ada penelitian untuk mengukur usia dan jenis peninggalan prasejarah tersebut.
Bagi pembaca setelah membaca buku ini akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang begitu kayanya warisan leluhur  Nusantara di Sulawesi Tenggara khususnya dan Kepulauan Sulawesi umumnya.
Sabtu, 14 Februari 2015
Resensi : Gani Khair
Lihat juga...