Paradoks: Haji di Cerca, Belanja Wisata di Puja

Singapura, Jepang, Korea Selatan, Eropa, dan Amerika Serikat menjadi penerima manfaat utama dari belanja wisatawan Indonesia. Baik untuk belanja, hiburan, maupun konsumsi. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan total belanja jamaah haji dan umrah.

Atas fakta itu, hampir tidak pernah terdengar kritik moral atau nasionalistik terhadap fenomena itu. Tidak ada yang menuding para wisatawan itu merugikan bangsa. Padahal motif perjalanan mereka sepenuhnya konsumtif dan tidak memiliki dimensi spiritual.

Ketika konteksnya haji—sebuah ibadah—barulah muncul tudingan keras tentang “uang lari ke luar negeri”. Jika logika devisa digunakan secara konsisten, kritik semestinya lebih dahulu diarahkan pada gaya hidup wisata luar negeri. Bukan pada ibadah yang merupakan hak konstitusional warga negara.

Ibadah haji juga membawa manfaat sosial-ekonomi jangka panjang. Tetapi luput dari perhitungan makro. Jamaah haji kembali ke Tanah Air sering kali mengalami perubahan sikap. Peningkatan etos kerja, serta kepedulian sosial.

Tidak sedikit kemudian lebih aktif dalam kegiatan filantropi, pendidikan, dan penguatan ekonomi umat. Peningkatan zakat, infak, dan sedekah pasca-haji turut berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi lokal. Dampak ini tidak tercatat langsung dalam neraca pembayaran. Tetapi nyata dalam denyut kehidupan sosial masyarakat.

Menyederhanakan ibadah haji sebagai aktivitas hanya menguntungkan Arab Saudi dan merugikan Indonesia adalah cara pandang sempit. Ia mengingkari data ekonomi, mengabaikan konteks global, dan tidak konsisten jika dibandingkan dengan sikap terhadap aktivitas warga negara lain yang justru menyedot devisa jauh lebih besar ke luar negeri. Pandangan semacam ini, sadar atau tidak, sering kali lebih mencerminkan bias dan fobia daripada kepedulian tulus terhadap kepentingan bangsa.