Paradoks: Haji di Cerca, Belanja Wisata di Puja

Motivasi ekonomi berbasis tujuan spiritual ini menciptakan etos kerja, budaya menabung, serta perputaran uang di dalam negeri. Setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) saat ini berkisar Rp25 juta per jamaah. Dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Hingga beberapa tahun terakhir, dana kelolaan haji tercatat lebih Rp160 triliun. Dana itu ditempatkan pada instrumen keuangan domestik: Surat Berharga Negara, perbankan syariah, investasi langsung.  Jauh sebelum jamaah menginjakkan kaki di Tanah Suci, dana haji terlebih dulu menjadi sumber pembiayaan pembangunan nasional dan penopang stabilitas fiskal negara.

Pada tahap penyelenggaraan, dampak ekonomi semakin nyata. Indonesia setiap tahun memiliki kuota haji lebih 220 ribu jamaah. Terbesar di dunia. Angka ini belum termasuk haji khusus dan jutaan jamaah umrah yang berangkat sepanjang tahun.

Penyelenggaraan haji dan umrah melibatkan rantai ekonomi panjang di dalam negeri. Mulai maskapai penerbangan, katering, penyedia perlengkapan haji, transportasi darat, hotel embarkasi, asuransi, perbankan, hingga ribuan tenaga kerja.

Maskapai nasional seperti Garuda Indonesia memperoleh kontrak strategis dalam pengangkutan jamaah haji. Setiap musim haji, ratusan ribu kursi penerbangan terisi jamaah, menghasilkan pemasukan signifikan. Membantu menjaga keberlangsungan industri penerbangan nasional.

Industri UMKM pun terlibat luas. Produksi kain ihram, koper, tas, mukena, hingga jasa manasik dan pelatihan—. Seluruhnya berputar di dalam negeri.

Dari sisi valuasi, belanja haji reguler per jamaah berkisar Rp90–100 juta. Dengan kuota lebih dari 220 ribu jamaah per tahun, total belanja haji reguler Indonesia dalam satu musim haji berada pada kisaran Rp19,8 hingga Rp22 triliun per tahun.