Lalu Lintas Masih Pembunuh Terbesar  

Secara konsepsional mengurangi korban kecelakaan transportasi lalu lintas memerlukan pendekatan multidimensional. Tidak bisa sektoral. Tidak bisa temporal.

Pertama: intervensi faktor manusia. Edukasi dan kesadaran berkendara, kampanye keselamatan jalan, pelatihan pengemudi baru. Penegakan hukum ketat (ETLE: Electronic Traffic Law Enforcement, razia rutin, sanksi tegas). Manajemen kelelahan pengemudi jarak jauh dan angkutan umum.

Kedua, perbaikan dan pengawasan kendaraan. Berupa pemeriksaan berkala kendaraan, standar keselamatan minimum, fitur modern seperti ABS (Anti-lock Braking System) dan airbag. ABS dalam Bahasa Indonesa dikenal sebagai Sistem Rem Anti Terkunci. Fungsi utamanya mencegah roda kendaraan terkunci pada saat melakukan pengereman mendadak. Mengurangi risiko tergelincir.

Ketiga, perbaikan infrastruktur jalan. Berupa perbaikan jalan rusak, marka jelas, penerangan memadai, pemisahan jalur motor/pejalan kaki/kendaraan umum. Termasuk rambu-rambu yang cukup.

Keempat, transportasi publik dan mobilitas alternatif. Pengembangan transportasi publik aman, nyaman, efisien, dan insentif bagi pengguna angkutan massal.

Kelima, sistem informasi dan manajemen risiko. Perlu database kecelakaan nasional. Identifikasi titik rawan. Evaluasi berbasis data untuk intervensi kebijakan.

Bisa disimpulkan kecelakaan transportasi di Indonesia, khususnya lalu lintas, masih merupakan pembunuh terbesar. Berlangsung setiap tahun. Jumlah korban meninggal jauh lebih tinggi dibandingkan korban bencana alam.

Indonesia menempati peringkat menengah global dengan angka fatalitas ±11,88 per 100.000 penduduk. Jauh di atas banyak negara maju yang berhasil menekan angka kematian melalui kebijakan sistemik. Seperti Vision Zero di Swedia dan edukasi plus penegakan hukum di Jepang.