Koperasi Sebuah Paradoks Idiologis

Koperasi Sebuah Paradoks Idiologis

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 23/12/2025

 

 

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bukan sekadar pasal ekonomi. Melainkan pernyataan ideologis tentang arah pembangunan bangsa.

Di dalamnya terkandung gagasan perekonomian “disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Koperasi ditempatkan bukan hanya sebagai salah satu pelaku ekonomi. Tetapi sebagai manifestasi nilai kolektif, gotong royong, dan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.

Bersama BUMN dan swasta—baik swasta besar maupun UKM—koperasi seharusnya menjadi salah satu dari tiga penyangga utama ekonomi nasional. Namun, berbeda dengan BUMN dan swasta yang berkembang pesat secara struktural dan kultural. Koperasi justru tertinggal dan kehilangan daya tarik generasional.

Masalah utamanya bukan terletak pada ketiadaan regulasi atau minimnya jargon politik. Melainkan pada kegagalan menjadikan koperasi sebagai “back mind” dalam sistem pendidikan dan kebudayaan ekonomi nasional.

Sejak dini hingga perguruan tinggi, pendidikan ekonomi di Indonesia cenderung mengadopsi paradigma liberal sebagai kerangka berpikir utama. Buku teks, silabus, dan metode pengajaran menekankan efisiensi pasar, kompetisi bebas, rasionalitas individu, maksimalisasi keuntungan, dan pertumbuhan berbasis modal.

Mahasiswa ekonomi diajarkan untuk bercita-cita menjadi analis pasar, bankir, konsultan bisnis, atau pendiri startup berbasis valuasi. Hampir tidak ada ruang serius untuk memahami koperasi sebagai sistem ekonomi alternatif yang memiliki logika berbeda. Seperti logika partisipasi, demokrasi ekonomi, distribusi nilai tambah, dan keberlanjutan sosial.

Lihat juga...