Seolah aku sedang berkumpul dengan para kekasih Allah—orang-orang sholeh yang hidupnya telah selesai, tapi jejaknya tetap menyala.
Ada damai yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan oleh hati yang merunduk.
Kata-kata Gus Dur yang dulu hanya kutahu dari kutipan, kini benar-benar terasa nyata di relungku: “Lebih enak srawung dengan orang mati di kuburan, daripada bergaul dengan orang hidup yang kadang hidupnya ruwet.”
Dan aku mengamininya. Di kuburan, tak ada kegaduhan. Tak ada topeng. Tak ada kepentingan.
Yang ada hanya keheningan yang menyembuhkan. Justru dalam sunyinya makam, aku merasa lebih hidup. Lebih jujur. Lebih tenang.
Ziarah juga menjadi jalan panjang pencarian spiritualku. Aku tidak hanya mengunjungi makam orang tua.
Selama bertahun-tahun ini, aku menyempatkan diri sowan ke makam-makam ulama, orang-orang sholeh, para waliyullah, dan tokoh-tokoh Islam masa lalu.
Sudah lebih dari dua ratus makam yang pernah aku datangi. Dari yang megah dan dikenal banyak orang, hingga yang sunyi dan tersembunyi di lereng-lereng desa.
Setiap kunjungan selalu menyisakan kesan mendalam—selalu membuatku ingin lebih dekat kepada Allah.
Melihat nisan demi nisan, aku selalu diingatkan satu hal: kita semua akan mati. Entah kapan. Tapi pasti.
Dan dari kesadaran itu, muncul semangat baru untuk hidup lebih baik. Untuk memperbaiki diri.
Untuk berbuat baik kepada sesama. Untuk lebih tenang menjalani kehidupan yang sebenarnya hanya sebuah antrian menuju liang lahat.
Ziarah telah menuntunku memahami hidup dengan cara yang berbeda. Ia membuatku sadar bahwa dunia ini sementara, bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.