“Kami ingin wisatawan tidak hanya melihat pemandangan, tapi juga belajar dan terlibat langsung dalam proses. Itulah esensi edukasi yang kami bawa. Dengan digitalisasi, kami berharap cerita-cerita ini bisa menjangkau lebih banyak orang,” ujar Anton.
Ia menekankan bahwa 99 persen warga Nglinggo bekerja sebagai petani dan peternak. Aktivitas tersebut membentuk satu ekosistem yang berkelanjutan dan menjadi daya tarik tersendiri. Menurutnya, produk-produk yang dihasilkan warga tidak hanya bernilai secara fisik, tetapi juga menyimpan cerita dan filosofi yang patut diketahui masyarakat luas.
“Kita tidak hanya menjual gula atau susu. Kita bawa cerita: siapa yang membuatnya, bagaimana prosesnya, kenapa itu bernilai. Cerita itu penting dalam dunia digital,” katanya.
Setelah mengalami perlambatan akibat pandemi, berbagai fasilitas wisata di Nglinggo mulai dibenahi. Beberapa objek seperti Bukit Ngisis, Puncak Sembilan, dan kebun teh direnovasi. Ditambah lagi, akses jalan utama menuju desa yang sempat terganggu akibat proyek pelebaran kini telah kembali dibuka, sehingga mempermudah mobilitas wisatawan.
Menurut Dukuh Nglinggo Barat, Teguh Kumoro, jumlah kunjungan wisatawan saat ini telah menunjukkan tren positif. Berdasarkan data internal, jumlah kunjungan rata-rata mencapai 6.000 hingga 7.000 orang per bulan.
“Itu angka yang cukup baik untuk desa. Tapi kami yakin, dengan pelatihan digital ini, angka itu bisa naik dan lebih merata manfaatnya bagi warga,” jelas Teguh.
Nglinggo kini tidak hanya ingin dikenal sebagai destinasi wisata alam, tetapi juga sebagai desa edukatif digital yang memadukan keindahan alam, budaya lokal, dan kemajuan teknologi. Warga berharap para wisatawan yang datang tidak hanya membawa kenangan, tetapi juga pulang dengan ilmu dan cerita baru.