Begitu pula dengan perjalanan reformasi telah mendewasakan rakyat Indonesia pada berbagai aspek. Termasuk pemahamannya terhadap karakteristik TNI.
Konsepsi ketentaraan negara-negara maju merupakan pasukan profesional yang direkrut untuk mendukung kepentingan kebijakan penguasa. Sementara TNI tumbuh dari tentara rakyat. Dalam memperjuangkan, merebut dan mempertahankann kemerdekaan. TNI Tunduk pada Sapra Marga.
Inti Sapta Marga itu kesetiaan TNI hanya pada negara dan idiologi negara. Tidak tunduk pada kekuasaan. Perbedaan tajam itu pernah diperagakaan TNI ketika agresi militer Belanda II. Pejabat politik (Presiden Soekarno dan sejumlahnya kabinetnya) memilih menyerah kepada Belanda. TNI berbeda sikap dan memilih bergerilnya mengusir penjajah.
Peristiwa itu membuat ketegangan antara Presiden Soekarno dan Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman. Usai serangan Umum 1 Maret 1949 oleh Letkol Soeharto, Panglima TNI itu enggan untuk kembali ke Ibukota Yogya dan bertemu Presiden. Jenderal Soedirman masih marah atas keputusan politik Presiden Soekarno yang menyerah pada Belanda itu.
Ketika kemudian berhasil dijemput Letkol Soeharto, perjumpaan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman konon dimanfaatkan oleh Presiden Soekarno. Presiden mengintruksikan agar pelukan perjumpaan dengan panglimanya itu diabadikan sedemikian rupa melalui kamera agar bisa disebarluaskan kepada publik. Bahwa hubungan dengan Panglima Soedirman itu baik-baik saja.
Kemarahan Jenderal Soedirman itu sebagai cerminan keteguhan TNI sebagai tentara rakyat. Bukan alat kekuasaan. Ketika pemegang kekuasaan tidak setia pada perjuangan rakyat, TNI bisa mengambil sikap berbeda.