Terkait dengan redefinisi HTAG, sepanjang era reformasi, publik merasakan kerapuhan negara dalam menghadapi ancaman. Berbeda dengan suasana tentram dan damai pada era Orde Baru.
Beberapa saat setelah Gus Dur lengser, seorang praktisi intelijen berujar. Ia mengibaratkan jika pada era Orde Baru, radar intelijen Indonesia mencapai 14 Km. Mampu menangkap pergerakan musuh hingga radius 14 KM. Merupakan salah satu kekuatan militer dengan kemampuan terkuat di Dunia. Bukan semata dukungan persejataan. Akan tetapi strateginya mematahkan musuh sejak dini.
Era Gus Dur, kata praktisi itu, tinggal 4 km saja kemampuanya. Indonesia tidak mampu mendeteksi pergerakan musuh pada km ke 5 dan seterusnya. Apalagi setelah era Gus Dur. Kemampuanya lebih merosot lagi.
Maka banyak terjadi kejanggalan merugikan negara. Pulau Sipadan-Ligitan Lepas. Indosat lepas tanpa perlawanan. Teroris marak bertahun-tahun. Bom seperti langganan meledak di mana-mana. Itu menggambarkan lemahnya intelijen negara mengidentifikasi dan mangantisipasinya.
Bahkan pada era Presiden Jokowi, isu masuknya intelijen asing dengan mendompleng Tenaga Kerja Asing (TKA) mencut kuat dalam diskursus publik. Korupsi besar-besaran terjadi di berbagai instansi pemerintah. Negara terjebak impor di berbagai sektor.
Terdapat dugaan kuat terjadi oleh operasi intelijen asing. Pemerintah Indonesia tidak mampu megantisipasinya.
Maka ketika pemerintah hendak memperkuat hankam dengan menempatkan TNI di berbagai Kementerian, tidak sedikit publik memakluminya. Sebagai “Dwifungsi minimalis” yang diperlukan untuk mencegah masuknya infiltrasi asing dalam lembaga-lembaga negara. Bahkan banyak yang menganggap masih dalam koridor peran hankam. Tidak masuk dalam domain sosial politik.