Bung Karno tiba di Padang. Belanda menyerah. Panglima Tertinggi Tentara Pendudukan Jepang di Indonesia, Jenderal Imamura, meminta Bung Karno ke Jakarta Melalui Palembang.
Bung Karno tertahan di Palembang satu bulan. Diminta ikut penguasa militer Jepang di palembang untuk mengatasi pemberontakan rakyat. Bung karno menunjukkan surat Kolonel Fujiyama. Perintah Jenderal Imamura harus segera ke Jakarta. Tetap saja tertahan satu bulan.
Menggunkan perahu motor sepanjang 8 meter, Bung Karno, Bu Inggit, dan anak angkatnya berlayar ke Jakarta. Berlabuh di Pasar Ikan Jakarta Utara. Tidak ada yang menjemput.
Bung Karno meminta nelayan memberitahu mantan iparnya Anwar Tjokroaminoto, Mr. Sartono dan Bung Hatta. Ketiganya menjemput ke Pasar Ikan. Menuju rumah yang disiapkan Jepang.
“Djepang telah menjediakan sebuah rumah bertingkat dua dan manis potongannya, terletak di sebuah djalan raja di Djakarta. Rumah itu memiliki lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, ketjuali piring-piring barang petjah belah lainnja yang sudah dibanting-bantingkan oleh Belanda sebelum berangkat”.
Begitu tulis Cindy Adam. Menggambarkan Soekarno diberi rumah mewah di Jalan Diponegoro 11 oleh tentara Jepang. Tapi bukan rumah seperti itu yang dikehendaki. Sebagaimana ditulis dalam biografinya.
“… bahwa pemimpin kita tentu memerlukan ruangan yang banjak untuk tetamu”. Begitu kriteria rumah yang diinginkan Bung Karno.
Soekarno kemudian menjadi ketua PUTERA. Pusat Tenaga rakyat. Kepada Hitoshi Shimizu, pegawai Sadenbu, divisi propaganda Jepang, Soekarno mengemukakan rumah yang dikehendaki. Melalui pemuda bernama Chaerul Basri, ia mendapat rumah di Pegangsaan Timur 56. Bekas milik Baron van Asbeck (tahun 1930). Orang Belanda. Tahun 1939 rumah itu berpindah tangan ke Mr. PR Feith, ahli hukum perusahana minyak. Ketika Jepang masuk, Feith ditawan. Rumah itu diberikan oleh penguasa militer Jepang kepada Bung Karno.