SEBERAPA TANGGUH PDIP OPOSISI LAGI?

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Terdapat dua kemungkinan profil kabinet pasca kemenangan Prabowo-Gibran pada pemilu 2024.

Pertama, kabinet collaborative. Merangkul pihak yang kalah. Seperti Kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua.

Kedua kabinet dengan opisisi, seperti pada massa presiden SBY. Ketika PDIP kalah, maka ia oposisi.

Kemungkinan keduanya juga ditentukan karakter figur puncaknya yang tidak sama.

SBY dianggap kurang ajar oleh Megawati. SBY anak buah Megawati di kabinet. Ia membentuk partai dan ikut kontestasi menjadi presiden. Melawan Megaeati.

Megawati yang merasa superior itu ternyata dikalahkan. Sebanyak dua kali pilpres.

Keduanya sama-sama memasang pride (harga diri) tinggi. Sebagai presiden terpilih, SBY tidak mau mundhuk-mundhuk (merunduk-runduk), merengek-rengek mengajak Megawati masuk kabinet.

Megawatipun sama dan sebangun. Memasang pride tinggi. Tidak mau luluh dengan anak buah yang dianggap kurang ajar itu. PDIP memilih oposisi selama 10 tahun.

Berbeda dengan Presiden Joko Widodo. Ia mengulurkan tangan kepada lawannya, Prabowo. Untuk masuk kabinet. Prabowo pun menyambutnya dengan tangan terbuka.

Jika sikap itu diterapkan pasca pilpres 2024, kabinet collaborative mungkin saja terjadi. Prabowo dan Jokowi menanggalkan pride. Mengajak PDIP masuk kabinet. Prabowo dan Joko Widodo merupakan satu paket. Prabowo merupakan calon yang di endorse Joko Widodo.

Sebelumnya, Presiden Jokowi dianggap kurang ajar oleh PDIP. Dianggap menolak menjadi petugas partai lagi.

Bahkan Guntur Soekarno Putra menyatakan akan “menghukum” Joko Widodo jika calon PDI menang pilpres. Ternyata calon PDIP itu kalah.

Tentu pride Megawati sulit merunduk. Pada mantan petugas partainya itu. Hanya “Joko Widodo Inisiatif”-lah yang bisa memecah kebekuan itu.

Lihat juga...