Kisah Presiden Soeharto di Framing Rezim Penculik

Oleh: Abdul Rohman

“Di zaman orde baru, kau pasti sudah dikarungin. Dibuang ke laut”.

Begitulah cara intimidasi, sekaligus framing kekejaman orba, dalam mematahkan kritisisme di era reformasi.

Semua ditimpakan tabiat buruk itu kepada Presiden Soeharto. Padahal tujuannya hanya untuk menakut-nakuti lawan politik saja.

Tapi benarkah Presiden Soeharto itu rezim penculik?. Jika bukan pada sosok figur, benarkah orde baru itu rezim penculik?

Kita bisa menelaahnya dari kisah berikut.

Adalah Rapim (Rapat Pimpinan) ABRI di Pekanbaru. Tepatnya tanggal, 25 Maret 1980. Presiden Soeharto menyampaikan komitmennya untuk menjaga Pancasila dan UUD 1945. Untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Bagi Presiden Soeharto. Pembangunan bangsa merupakan penjabaran Pancasila. Pembangunan tidak boleh bertentangan dengan spirit Pancasila.

Sejarah bangsa di era orde lama diwarnai tarik ulur idiologis. Termasuk mengganti UUD 1945.

Upaya itu bukan saja gagal. Akan tetapi menguras seluruh energi bangsa. Untuk perdebatan yang tiada henti. Bahkan berujung konflik-konflik horisontal. Presiden Soeharto tidak ingin instabilitas politik era orde lama itu terulang.

UUD 1945 sendiri memberi way out untuk mengganti UUD 1945 dengan kesepakatan 2/3 anggota MPR. Dalam sambutan Rapim itu, tentu dengan berseloroh. Presiden Soeharto menyatakan satu di antara 2/3 anggota MPR itu diculik saja. Agar tidak tercapai quorum. Jika ada 2/3 anggota MPR ingin mengubah UUD 1945.

Markas Kopassus pada tanggal 16 April 1980. Tiga pekan dari Rapim ABRI di Pekanbaru itu. Presiden Soeharto mengungkapkan kembali komitmennya menjaga Pancasila dan UUD 1945.

Lihat juga...