PUTUSAN MK DAN PERLUNYA DETAIL ANTI NEPOTISME
Oleh: Abdul Rohman Sukardi (ARS)
Tanggal 16 Oktober 2023 publik Indonesia dikejutkan putusan MK soal ambang bawah usia capres/cawapres. Materi putusan itu sebelumnya memang sudah menjadi polemik. Salah satunya adalah dugaan untuk meloloskan peluang putra presiden yang masih belia untuk menjadi calon wakil presiden pada pemilu 2024. Apalagi ketua MK yang juga menangani perkara itu masih terkait sebagai kerabat presiden melalui jalur pernikahan.
Atas perkara yang diajukan oleh mahasiswa FH UNSA itu, MK memutuskan usia ambang batas capres /cawapres tetap 40 tahun terkecuali bagi mereka yang telah berpengalaman sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu. Bunyi lengkap putusan itu “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Lantas apa yang sebenarnya menjadi polemik dari putusan itu?. Materi putusannya?. Proses putusannya?. Atau adanya indikasi perilaku nepotistiknya?. Ialah seorang anak presiden aktif mencalonkan atau dicalonkan sebagai cawapres?.
Jika menilik materinya, sebenarnya putusan MK tidaklah janggal. Pemohon, menggugat ambang batas bawah usia capres-cawapres yang telah ditetapkan UU, 40 tahun. Penetapan batas usia itu sebenarnya terkait “kecakapan bertindak”, dan secara spesifik kecakapan bertindak sebagai capres/cawapres negara sebesar dan sekompleks Indonesia.