Petani kopi di lereng Merapi masih gunakan cara tradisional
Editor: Koko Triarko
YOGYAKARTA, Cendana News – Sejumlah petani di kawasan lereng gunung Merapi, Cangkringan, Sleman, masih menggunakan cara-cara tradisional dalam budi daya kopi.
Petani kopi di lereng gunung Merapi itu masih menggunakan cara tradisional seperti penggunaan pupuk dan pestisida alami.
Hal inilah yang membuat produktivitas petani kopi lereng Gunung Merapi belum maksimal.
Padahal, wilayah Cangkringan merupakan salah satu daerah di Sleman yang memiliki potensi besar di sektor perkebunan kopi.
Salah seorang petani kopi anggota Kelompok Tani Sido Makmur di desa Kepuharjo, Pairin (55) menanam 250 batang tanaman kopi di lahan miliknya seluas 4.000 meter persegi.
Dari jumlah tersebut ia hanya mampu menghasilkan 170 kilogram kopi gelondong basah per sekali panen, dengan harga jual Rp6.000 per kilogramnya.
“Memang hasilnya belum maksimal karena kemarin pupuk kandang juga belum siap,” ujarnya.
Pairin mengakui tingkat produktivitas kopi di wilayahnya saat ini masih belum bisa optimal.
Di Poktan TSido Makmur yang terdiri dari 25 orang anggota dengan luas lahan garapan 7 hektare, produktivitas kopi hanya berkisar di angka 6 kuintal per sekali panen.
Padahal, berdasarkan data Kementerian Perkebunan tingkat produktivitas kopi di Indonesia rata-rata mencapai 7 kuintal biji kering per hektare per tahun.
Sementara tingkat produktivitas kopi di negara lain seperti Brazil atau Vietnam bisa mencapai 4 ton biji kering per hektare per tahun.
“Kita memang sengaja menggunakan pupuk maupun pestisida alami, agar menghasilkan kopi khas Merapi yang aromanya alami. Walau memang hasil panennya tidak bisa optimal,” katanya.