Aban menanggalkan kopiah, lalu berpura-pura menggaruk kepala. Ia tahu, tapi tak ingin terkesan tahu. Duduk sebagai bocah di depan neneknya yang telah sepuh, tujuannya bukan untuk menunjukkan pengetahuan, tapi mencari tak-takan usang yang tak pernah diajukan Ibu, Uni, dan kawan-kawannya yang sering bermain tak-takan.
“Menyerah,” ujarnya tak lama kemudian.
“Jeng-kol!” jawab Wo Kusai kembali terkekeh.
“Kenapa jengkol? Sejak kapan pula pohon jengkol bisa bersila?” tanya Aban berpura-pura.
Wo Kusai kembali menjelaskan maksud tak-takan-nya menggunakan bahasa Minang—yang tentu saja sulit kau mengerti bila kukutip secara langsung. Katanya, setelah bijinya tumbuh, pohon itu akan meninggi, membesar, lalu menghasilkan buah-buah bulat seperti ninik mamak yang selalu duduk bersila di musyawarah.
“Tak-takan yang ketiga, Wo! Yang lebih sulit,” tagih Aban di malam yang sama. Namun, itu memang tak-takan tersulit yang pernah ia terima. Sebuah tak-takan yang selalu dikenangnya hingga sekarang, sebelum memejamkan mata atau terjaga di tengah malam.
Tak-takan itu tak diketahui ibunya, uninya, dan beberapa orang yang pernah ditanyainya kemudian. Barangkali, pikirnya, Wo Kusai selalu mengetahui kepura-puraannya, lagak tak tahunya sehingga mengajukan tak-takan yang tak serupa.
Malam ini pun, ia masih mengenangnya, merenungkannya. Itu bukan sekadar tak-takan. Ada maksud, nasihat, dan anjuran dalam simbol dan singkatan. Ia mengingatnya. Malam itu ….
“Ini yang terakhir,” Wo Kusai mengacungkan telunjuknya, memperingatkan bocah itu agar segera tidur bila tak dapat menjawab tak-takan yang diberikan.
“Ka dipanjat u. Tiba di ba diambil tu. Apakah itu?”