“Hanabi, kita tak pernah tahu sampai kapan Jepang terus-terusan ada di Indonesia. Siapa tahu tahun ini Indonesia merdeka, atau tahun berikutnya, atau tahun berikutnya lagi. Siapa yang tahu. Sebelum itu terjadi, setidaknya aku harus menemukan seorang teman untukmu.”
“Meow!”
Ketika Hanako hendak mengelus kepala Hanabi, kucing itu berlari menjauhinya ke arah rimbunan semak dekat kediaman Tuan Hiiragi. Tepat saat hendak mengejar kucing kesayangannya itu, terdengar bunyi letusan pistol dari arah belakang.
“Berhenti!”
Hanako berbalik badan dan dilihatnya seorang tentara Jepang menodongkan laras panjang ke arahnya. Karena takut terjadi apa-apa, ia mengangkat kedua tangan. Tentara itu pun lantas mendekatinya.
“Heh, kau dari mana mau ke mana?”
Hanako menunjuk rumah tempat ia tinggal tanpa berkata-kata.
“Mau ke mana?”
“Mengejar Hanabi.”
“Hanabi siapa?”
“Kucingku. Tadi berlari ke arah rumah itu.”
“Lebih baik jangan. Di pasar lagi ada keributan. Beberapa noni dan prajurit Belanda yang ditahan di kediaman Tuan Hiiragi melarikan diri. Beberapa dari mereka bersenjata. Anak-anak harus tetap di rumah. Ayo!”
Tentara itu kemudian mengantar Hanako kembali ke rumah dan menutup pagar kuat-kuat. Tiga kali ia diberi nasihat agar jangan sekali-kali keluar pagar. Ia juga diminta agar jangan pernah lepaskan perhatian terhadap radio karena segala yang terjadi bisa disimak dari sana.
Hanako hanya menurut. Bisa apa seorang gadis kecil di hadapan tentara Jepang?
***
Hari Jumat, 17 Agustus 1945
“Sekarang tibalah saatnja kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib Tanah Air di dalam tangan kita sendiri. Hanja bangsa jang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnja.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musjawarat dengan pemuka-pemuka rakjat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusjawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnja untuk menjatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Dengan ini kami njatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami!”