“Ah, tidak juga, jika nantinya pun Ayah meninggalkan Hanako sendirian.”
Ayah Hanako diam. Ia menyadari kemungkinan besar bahwa Hanako mencermati obrolannya bersama Tuan Hiiragi saat berada dalam pesawat perang menuju Jawa. Ia ingin menjelaskan pada Hanako, tapi tak mampu memilih kata-kata yang tepat untuk menghibur hatinya.
“Kota A aman tidak, Yah?” tanya Hanako.
“Aman, kok,” Ayah Hanako tersenyum menepuk bahu anaknya. “Malam sudah larut. Tidur, yuk, ke lantai atas. Kamu pasti capek, kan?”
Memang benar, saat itu Hanako merasa capek sekali. Tulang-tulang sendi serasa mau lepas. Sejenak ia memutar pinggang ke kanan dan kiri untuk meringankan pegal-pegal.
Dengan terang lilin merah, mereka menaiki anak tangga menuju kamar utama yang berisi 2 ranjang besar. Rupanya di ranjang sebelah kiri sudah ada Hanabi dalam posisi tidur melingkar mirip bola. Seakan-akan tak peduli dengan apa pun di sekitarnya.
Enak betul jadi kucing, pikir Hanako.
Sepanjang malam, hanya terang lilin merah yang menemani mereka tidur. Tiada suara terdengar di luar rumah karena memang begitulah kondisi kota A hampir setiap waktu. Seperti kota hantu, meski tak jauh dari sana ada pasar tradisional.
***
Keesokan harinya, Hanako tak melihat ayahnya di ranjang sebelah. Ia sudah menduga hal itu sebelumnya. Ayahnya pasti sudah pergi tanpa berpamitan. Meski agak kecewa, ia berusaha rileks ketika mengucek mata, bangkit dari ranjang, dan menyapa Hanabi yang sudah duduk terjaga di hadapan pintu.
“Mau jalan-jalan?” tanya Hanako pada kucing putih gemuk itu.
“Meow!” jawab Hanabi sambil meregangkan otot keempat kakinya plus punggung.