Bulan Juli, Tahun 1943
Di simpang jalan dekat kediaman Tuan Hiiragi, Hanako tinggal sendirian bersama kucingnya. Baru sehari ia pindah dari Jepang ke kawasan Kota A karena ayahnya diminta untuk bantu-bantu membereskan sisa Belanda di tanah Jawa. Mereka menggunakan bangunan bekas Belanda sebagai tempat tinggal.
Sejak pindah, Hanako menghabiskan waktu di rumah tanpa berminat sedikit pun ke luar pagar. Toh semua terasa asing baginya.
Kesehariannya hanya diisi dengan menyiram bunga di halaman, membersihkan sarang laba-laba, makan makanan instan, menyapu, dan ini yang paling ia sukai: bermain-main dengan Hanabi, kucing jenis Shironeko atau white cat yang ia ambil dari Pulau Aoshima. Bagi gadis berusia 8 tahun, jelas tak mudah menjalani hari-hari seorang diri.
Suatu malam ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu, Hanako melakukan percakapan serius bersama ayahnya. Saat itu ruangan hanya berpenerang lilin merah besar. Mereka duduk bersisian di hadapan meja makan yang hanya berisi dua potong pai apel hangat.
“Ayah, mengapa Ibu dan Taiju tak ikut ke mari?”
“Hanako kan tahu sendiri, Taiju baru berumur dua bulan. Ayah rasa adikmu takkan mampu bertahan dengan udara ekstrem di sepanjang perjalanan.”
“Mereka makan apa selama kita tinggal di sini?”
“Persediaan makanan diurus langsung oleh pemerintah.”
“Lalu kenapa Ayah tega meninggalkan Ibu dan Taiju?”
“Apa boleh buat, Hanako. Jika sang Kaisar telah berkehendak, Ayah sendiri pun tak bisa menolak, meski harus mengorbankan kebersamaan keluarga.”
“Kalau begitu, kenapa hanya Hanako yang Ayah bawa?”
“Ayah ingat kalau Hanako pernah bilang mau jalan-jalan ke luar negeri. Ingat, kan? Ayah kira Hanako bakal senang tinggal di sini.”