Indonesia Perlu Diversifikasi Pasar Impor Kedelai Jaga Stabilitas Harga

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, menyatakan pemerintah RI perlu mempertimbangkan opsi untuk diversifikasi pasar impor kedelai untuk memastikan jumlah pasokan dan kestabilan harganya.

Aditya Alta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, menyatakan diversifikasi juga penting dilakukan supaya Indonesia tidak tergantung pada satu negara manapun.

“Pembelian besar-besaran kedelai Amerika Serikat oleh Cina dan krisis iklim yang melanda Argentina dan Brasil, mempengaruhi jumlah pasokan dan kestabilan harga kedelai di Indonesia,” katanya.

Ia mengatakan, karena pasokan kedelai Indonesia didominasi Amerika Serikat, sangat penting untuk mencari sumber pasar tambahan yang juga mampu memasok komoditas itu untuk pasar domestik.

Berdasarkan data World Atlas, lanjutnya, Brasil merupakan negara penghasil kedelai terbesar di dunia dengan jumlah produksi mencapai 124 juta metrik ton pada 2019-2020.

Posisi selanjutnya ditempati Amerika Serikat dengan produksi sebesar 96,79 juta metrik ton, dan Argentina, berada di urutan ke tiga dengan 51 juta metrik ton.

Cina, Paraguay dan India masing-masing berada di peringat ke empat, ke lima dan ke enam dengan jumlah produksi 18,1 juta metrik ton, 9,9 juta metrik ton dan 9,3 juta metrik ton.

“Indonesia dapat menjajaki kemungkinan untuk membuka hubungan dengan negara eksportir kedelai nontradisional. Tidak tergantungnya kita pada satu negara saja dapat membantu meminimalkan dampak gangguan pasokan dari negara pemasok utama terhadap kestabilan harga kedelai di Tanah Air,” ungkap Aditya.

Berdasarkan data dari Trademap, lebih dari 90 persen pasokan kedelai Indonesia dipenuhi oleh Amerika Serikat. Terdapat penurunan sumbangan impor kedelai dari Amerika Serikat, dari hampir 99 persen pada 2016, menjadi 90,43 persen pada 2020.

Lihat juga...