“Tapi, bagaimana bisa aku jadi benalu, Bu?” tanyaku heran.
“Itu karena ayahmu juga benalu,” jawab Ibu.
Aku tidak pernah mengenal Ayah. Bagaimana rupanya, berapa tingginya, aku tidak tahu. Yang kutahu, sebelum aku lahir, ia sudah pergi dan tak pernah kembali.
“Itu buktinya ayahmu benalu,” terang Ibu. “Dia pergi dengan membawa semua uang tabungan ibu.”
Sejak saat itu aku benci Ayah. Aku benci menjadi anak seorang benalu. Sungguh aku benci. Malam itu, kukatakan kepada Ibu bahwa aku siap melakukan apa saja asalkan terbebas dari benalu.
“Satu-satunya cara,” kata Ibu, “kau harus bekerja.”
Seminggu setelah Ibu berkata begitu, aku mulai bekerja. Pekerjaan itu adalah mengemis. Ibu yang memilihkannya untukku. Katanya, hanya itu pekerjaan yang saat itu cocok untukku.
Tentu saja karena mengemis hanya perlu menadahkan tangan, dan untuk melakukannya, aku hanya perlu pergi ke lampu merah di perempatan dekat pasar, yang jaraknya hanya sekitar lima ratusan meter dari kontrakan.
Sebenarnya waktu itu Ibu masih belum mau melepasku, sebab, katanya, aku yang saat itu baru berusia tujuh tahun masih terlalu kecil untuk bekerja.
Namun, karena terus-menerus kudesak, ia mengalah juga. Setahun mengemis di lampu merah, atas izin Ibu, aku mengemis pula di taman kota.
Sejujurnya, kalau disuruh memilih, aku lebih suka mengemis di taman kota. Lebih sejuk daripada di lampu merah.
Banyak pohon-pohon rindang yang meneduhkan dan aroma-aroma sedap yang bebas untuk dihirup. Orang-orang di taman kota juga jauh lebih ramah.
Selain memberi uang, mereka juga suka memberi makanan. Banyak makanan dijual di sekeliling taman kota. Mereka beli satu, lalu mereka serahkan kepadaku.
***
Aku senang jika apa yang kulakukan bisa membuat Ibu senang. Sayangnya, aku tidak bisa selalu melakukannya.