Mengenal Tradisi Adu Beduk yang Tumbuh di Bekasi

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Pada masyarakat Bekasi, tepatnya di daerah Pedurenan Legok dan Kampung Sawah, pernah pula muncul tradisi adu beduk  sejak puluhan tahun silam. Tradisi adu beduk  tersebut dilakukan setelah masyarakat selesai salat Idulfitri atau Lebaran, dan bisa berlangsung hingga satu pekan.

Masyarakat dari dua kampung yang berbeda yang dibatasi dengan hamparan sawah, kampung Pedurenan di bagian timur dan masyarakat Kampung Sawah di bagian barat, memasang beberapa beduk, lengkap dengan pemukul dalam melakukan atraksi pukul beduk dengan irama yang berbeda-beda.

“Tradisi tersebut terus berkembang dan dikenal sebagai tradisi adu beduk. Pemenangnya adalah kelompok yang bertahan memukul beduk tanpa henti, dan beduk tidak robek atau jebol sesuai waktu yang disepakati,” paparnya.

Secara sederhana, menurut Aki Maja, makna yang diperoleh dari tradisi adu beduk adalah soal kerja sama, solidaritas, sportivitas, dan silaturahmi.

“Nah, pada hari terakhir adu beduk digelar, biasanya ada kegiatan ngarak barong  berupa dua orang yang memakai topeng/kedok dan dihias seperti makhluk astral, mengiringi sepasang pengantin, pasukan jawara, dan beduk lengkap dengan pemukul. Berkeliling kampung sambil membawa cepu, alat menyerupai rumah-rumahan, serupa dongdang, yang diisi kue, makanan, buah, minuman, oleh penduduk yang rumah-rumahnya dilewati rombongan ngarak barong  tersebut,” kisahnya.

Kemudian rombongan ngarak barong  dengan pengiring adu beduk menuju tanah lapang, perempatan jalan, rumah tokoh, untuk menyerahkan bawaan yang didapat untuk diletakkan di atas tikar yang sudah digelar. Selanjutnya seseorang memimpin doa, dan peserta mengaminkan.

Lihat juga...