Produksi Susu di Desa Endemik Antraks di Tulungagung tak Dibatasi
Sampel pada ternak sapi yang mati memang hanya diambil hanya pada satu ternak yang mati terakhir saat tim dari Kementerian Pertanian dan Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta turun ke lokasi melakukan pemeriksaan.
Sementara pada 25 ternak sapi yang mati terdahulu tidak dilakukan pengambilan sampel dengan alasan bangkainya sudah tidak ada.
“Proses ‘lock down’ ini berlaku selama 20 hari. Dan selama pembatasan itu petugas kita yang ada di posko, pengobatan terus dilakukan dan setiap kandang diinspeksi petugas kita,” katanya.
Ia menjamin produksi susu aman, selama kondisi sapi-sapi juga sehat sehingga diperbolehkan untuk dikirim ke luar, ke pedagang maupun konsumen,” kata Mulyanto.
Jumlah ternak sapi di Desa Sidomulyo diperkirakan mencapai 1.600-an ekor yang tersebar di sekitar 400 lebih kandang. Hampir setiap keluarga (KK) di daerah ini memiliki ternak sapi, terutama untuk jenis sapi perah.
Wabah antraks diduga mulai menyerang ternak sapi di desa ini sejak bulan Ramadan lalu (1442 H). Sejumlah ternak sapi mendadak mati, dalam tempo cepat.
Kematian ternak sapi secara beruntun hingga 25 ekor hingga pascaLebaran itu kemudian memantik rumor adanya indikasi guna-guna (santet).
Isu itu, meski belum sepenuhnya hilang, terbantahkan setelah tim kesehatan hewan dari Kementerian Pertanian, Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, Disnak Provisi Jatim dan Disnak Kabupaten Tulungagung mendapati bukti adanya bakteri antraks berdasar hasil uji sampel di laboratorium BB Veteriner Yogyakarta.
“Sampel ini diambil dari satu ekor ternak sapi warga yang mati saat tim gabungan turun lapangan, dan hasilnya ternyata positif karena antraks. Akan tetapi sampel aak atas 44 ekor ternak sapi sehat yag diambil semua negatif antraks,” kata Mulyanto. (Ant)