Dahan-dahan Pohon Sialang

CERPEN AFRI MELDAM

Gadih masuk, membanting pintu. Lian kembali menangis di gendongannya, menjerit-jerit.

Tentu saja ia tak pernah menyangka bahwa itu menjadi pertemuan terakhir mereka. Nuan ditemukan dengan kepala pecah oleh seorang penggetah burung siang itu di bawah pohon sialang tak jauh dari ladang penduduk.

Orang-orang menduga, Nuan menemukan sarang lebah itu secara tak sengaja saat ia berjalan menuju Lurah Sembilan.

Pohon sialang itu tak terlalu tinggi, dan Nuan sudah mengumpulkan beberapa bongkah sarang lebah sebelum ia terjatuh dan kepalanya beradu dengan akar pohon tarab yang tumbuh di sana.

Dan, serupa lebah, orang-orang tak henti mendengungkan tentang lelehan madu yang bercampur dengan darah segar yang keluar dari kepala suaminya.
***
“APA lagi yang Uda tunggu?” ujar Gadih setengah berteriak dari dahan pertama tempat ia melilitkan tali untuk mengikat batang bambu untuk pijakan.

Laki-laki itu menoleh sekilas, lalu membuang sepotong ranting yang tadi dimain-mainkannya ke arah jurang. “Apa kau yakin?”

Gadih menghela napas. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!”

“Apa lagi yang harus kulakukan untuk meyakinkanmu, Gadih? Aku dan Hindun sudah tak ada ikatan apa-apa lagi…”

“Justru itu. Aku tak ingin orang-orang menilaiku sebagai penyebab perceraian Uda dengan Hindun. Cukuplah kata-kata runcing tentangku selama ini.”

“Asal kau tahu, Gadih. Jauh sebelum mendiang suamimu datang ke rumahmu, aku sudah lebih dulu menemui ayahmu.”

“Sudahlah. Tak usah membuka cerita lama. Yang berlalu biarlah menjadi bagian dari masa lalu.”

“Jadi?”

“Bukankah semua sudah jelas?” Suara Gadih meninggi. “Ini jalan hidup yang telah kupilih. Selama hutan ini masih ada dan lebah-lebah masih membangun sarang di sini, aku yakin, ini pilihan yang terbaik.”

Lihat juga...