Rokok daun nipah di bibir Nuan padam tersapu angin pagi yang tiba-tiba datang dari bukit. Ia berjalan ke dapur, menyusun beberapa potong kayu kering di tungku, lalu mulai menyalakan api.
“Dan Uda tahu?” Gadih ternyata masih belum selesai, “Mereka sudah mulai mengungkit-ungkit sepetak ladang keluarga yang kita gadaikan pada Angah Gani.”
“Tak usah pula itu yang kau cemaskan sekarang. Kita akan segera menebus ladang itu kembali,” jawab Nuan yang sudah mengisi ceret dengan air dan menjerangnya di atas tungku.
“Ya, sudah dua tahun ladang itu tergadai. Dan bahkan Angah Gani sudah berani menjual petai yang ada di sana.”
Terdengar nada geram pada suara Gadih.
“Tapi kita bisa apa. Janji hanya setahun, ternyata sampai hari ini kita masih belum bisa melunasi utang pada beliau.”
“Bersabarlah sedikit,” ujar Nuan dengan mulut yang sudah kembali disumpal dengan rokok daun enau.
“Jika aku bisa mengambil sarang-sarang lebah di Lurah Sembilan, kita pasti bisa melunasi utang-utang kita.”
“Uda ingin cari mati?” Bergetar bibir Gadih ketika mengucapkan kata-kata itu.
“Tak seorang pun pencari madu yang kudengar masih berani ke sana.”
Gadih mencelupkan ujung kain gendongan ke dalam ember air, lalu mengusapkannya ke kening Lian.
Gadih memang sudah beberapa kali mendengar tentang sarang-sarang lebah sebesar perut kerbau bunting yang ada di sebatang pohon raksasa di Lurah Sembilan.
Konon, sudah puluhan pencari madu yang mencoba menaklukkan pohon itu, tapi belum satu pun yang berhasil mencapai dahan-dahan tempat kawanan lebah membangun sarang.
Bahkan, pemanjat terbaik yang dibayar Angah Gani untuk mengambil sarang-sarang lebah itu menyerah sebelum ia mencapai cabang pertama.