“Kopi habis, gula habis. Bukankah sudah kubilang sejak kemarin?” Gadih menyeka air yang jatuh di sela bibir Lian.
“Dan kau dari tadi membiarkanku menjerang air?”
“Kupikir Uda menjerang air untuk air mandi Lian.”
Nuan mendengus. “Sudahlah. Kau pandai sekali menjawab.” Nuan membuka tempayan dan mendapati sedikit nasi di dalam mangkuk di bawahnya.
“Itu nasi untuk Lian. Sengaja aku sisakan untuknya.” Berkata demikian, Gadih segera berjalan ke sana dan menyambar nasi dalam mangkuk itu.
“Sekepal saja sudah cukup buatku mengganjal perut.” Nuan menyodorkan piring kosong ke muka Gadih.
Gadih memindahkan sedikit isi mangkuk ke piring Nuan. Laki-laki itu kemudian meraih tabung bambu tempat garam, mengambil sejumput isinya, lalu menaburnya ke atas nasi. Minyak tanak yang masih tersisa di wajan juga ia tuangkan ke piringnya.
Hanya dua suapan, nasi itu tandas sudah. Nuan lalu mengambil tas goni yang tergantung di dinding dapur, menyisipkan parang di pinggang, dan begitu badannya telah berada di luar, ia kembali menyalakan rokoknya.
“Ke mana?” Dengan Lian di gendongannya, Gadih menyusul Nuan ke halaman.
“Mau ke mana lagi?” Nuan mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengeluarkan bulatan-bulatan kecil asap dari mulutnya.
“Lurah Sembilan?”
“Mungkin.” Nuan masih membentuk bulatan-bulatan kecil dengan asap rokoknya. “Bukankah tadi kau yang mengingatkanku kalau utang-utang kita sudah harus segera dilunasi?”
“Terserah Uda!” teriak Gadih ketika laki-laki itu mulai melangkah meninggalkan pekarangan pondok.
“Ya, kalau aku tak kembali, kau tentu tahu apa yang terjadi denganku. Seorang pencari madu lebah hanya jatuh sekali, dan ia jatuh ke langit!” Nuan membalas dari sebalik rimbun daun kaduduak tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.