Dahan-dahan Pohon Sialang

CERPEN AFRI MELDAM

Kakinya menggigil begitu kembali menginjak tanah, begitu cerita yang dibawa orang-orang. Tidak hanya pohon yang tinggi menjulang saja yang membuat orang-orang gentar, tapi juga bebatuan ngarai yang menunggu mereka di jurang di bawahnya.

“Tuhan menyuruh kita berusaha,” kata Nuan sambil menyusun kayu api ke tengah tungku, “Bukan untuk mencemaskan soal mati!”

Kata-kata hebat seperti itulah yang dulu membuat Gadih jatuh hati pada Nuan. Ah, masa muda yang penuh bunga-bunga, mengapa cepat sekali berlalu.

Rasanya belum lama ketika Nuan datang menemui ayah Gadih dan menyatakan niatnya untuk meminang Gadih setelah tamat SMA.

Pinangan tak biasa itu tentu saja membuat ayahnya heran, tapi demi melihat kesungguhan Nuan serta hubungan baik keluarga mereka yang telah terjalin selama ini, ayah Gadih menyatakan persetujuannya.

Maka, sesuai rencana, begitu Gadih menyelesaikan sekolah, keluarga Nuan pun datang meminang.
Tahun awal pernikahan, bunga-bunga masih bermekaran di antara mereka.

Onak dan kerikil-kerikil kecil dalam rumah tangga mereka masih bisa diselesaikan dengan kelakar dan gelak tawa.

Apalagi ketika Nuan berhasil mendapatkan kepercayaan orang-orang untuk menjadi salah seorang perangkat inti di kantor Wali Nagari. Tak terkira betapa bangganya Gadih pada laki-laki itu.

Namun, Nuan yang terlalu lurus ternyata tak sejalan dengan orang-orang di sana. Ya, itu yang dikatakan orang-orang tentang suaminya itu.

Bahwa Nuan terlalu kaku membaca angka-angka dalam anggaran nagari; Nuan selalu mempertanyakan penggunaan kas nagari; Nuan yang selalu mendebat kebijakan-kebijakan Wali Nagari menyangkut dana bantuan irigasi dan pembuatan jalan; Nuan yang tak bisa sedikit saja berkompromi…

Lihat juga...