Budayawan: Tradisi Rantangan Telah Ada Sebelum Islam Dikenal Masyarakat Betawi
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
JAKARTA — Budayawan Betawi, Yahya Andi Putra mengatakan, tradisi rantangan ini sudah ada sejak masa sebelum Islam dikenal masyarakat Betawi.
“Tradisi rantangan ini, dulunya dikenal dengan sebutan ‘Nyuguh’ atau sajen,” ujar Yahya, kepada Cendana News ditemui di rumahnya di Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (12/5/2021).
Yakni jelas dia, upacara dan ritus untuk memuja Tuhan dengan menggunakan wadah bambu yang dulu sempat digunakan dalam tradisi rantangan. Di antaranya adalah besek, tampah, dan pincuk daun.
Kemudian seiring waktu, wadah itu mengikuti perkembangan teknologi tradisional dan modern yang memanfaatkan pengolahannya berbahan besi dan baja. “Dari tradisional bambu, yaitu besek dan tampan, kemudian jadi rantang besi,” ujarnya.
Setelah ajaran Islam datang, akhirnya masyarakat mengadopsi kebiasaan ‘nyuguh’ ini untuk dilakukan juga pada hari-hari besar seperti lebaran. Hingga kemudian menjadi tradisi hantaran rantangan untuk keluarga di saat lebaran atau perayaan Idul Fitri. Sehingga wadah atau rantang ini berperan sebagai alat pendukung agar lebih mudah membawa makanan-makanan yang jadi simbol perayaan hari besar seperti lebaran.
Dalam rantangnya itu, ada dodol menjadi simbol keteguhan dan kekuatan persaudaraan. “Ada juga tape uli itu sebagai simbol rasa sayang, dan makanan lainnya ada maknanya juga,” tandasnya.
Menurutnya, tradisi rantangan Betawi yang biasa dilakukan saat hari raya lebaran itu tidak bisa dipisahkan dari beragam makanan khas Betawi. Makanan yang dimasak akan saling diantarkan kepada keluarga dan kerabat dalam wadah rantang.
“Tradisi rantang ini dilakukan masyarakat Betawi untuk mempererat silaturahmi antara keluarga,” ujar Yahya.