Skenario PKI Karantina Presiden Soekarno, Penyebaran Komunike, dan Misi Soepardjo
Mencermati sikapnya, Presiden menanggapi ulah pimpinan G30S/PKI dengan melakukan dua manuver. Pertama memerintahkan penghentian tembak menembak sebagai cerminan eksistensi dirinya masih sebagai pemegang kekuasaan. Kedua, berusaha memecah persekongkolan Soepardjo-Aidit dengan mengesampingkan Aidit dan Letkol. Inf. Untung dalam meja perundingan, serta memperlakukan Soepardjo sebagai pimpinan gerakan. Hal itu tercermin dari perintahnya yang mempercayakan kepada Soepardjo untuk penghentian tembak menembak.
Selanjutnya Presiden memerintahkan kepada para pembantunya untuk mempersiapkan Rapat Presidium Kabinet Dwikora dengan mengundang Waperdam II Leimena, Menpangad dan Menpangal. Selain tidak mengundang Menko Aidit, hal itu juga menegaskan bahwa kekuasaan penuh dirinya sebagai Presiden, Pangti dan Perdana Menteri Kabinet Dwikora. Mayjen Umar tidak bersedia hadir karena dikonsinyir Pangkostrad Mayjen Soeharto. Menurut Soepardjo, Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto juga diundang namun tidak dapat hadir. Ketidakhadiran Mayjen Soeharto karena yang bersangkutan sedang mempersiapkan segala kemungkinan termasuk melakukan serangan balasan pada pasukan G30S.
Presiden Soekarno juga memerintahkan Brigjen Sabur untuk membuat pernyataan bahwa dirinya dalam keadaan sehat wal afiat dan tetap memimpin negara maupun revolusi. Soepardjo bukanlah figur imbangan sepadan, sehingga ia terbawa ritme dan manuver Presiden Soekarno. Soepardjo bahkan bersama-sama Brigjen Sabur turut menyusun pernyataan Presiden untuk kemudian membawa satu salinannya kepada para pimpinan G30S/PKI, di Central Komando, Cenko, dan kemudian diteruskan kepada Aidit. Melalui pernyataan itu menyiratkan posisi Soepardjo sebagai representasi pimpinan G30S/PKI telah dijatuhkan sedemikian rupa di Komando Operasi di Halim dan Presiden telah menganggap Soepardjo maupun pimpinan G30S/PKI lainnya telah kembali dalam kendalinya.