Ketua DRN: Presiden Soeharto Perhatikan Pengembangan Lahan Gambut
Editor: Makmun Hidayat

Permohonan Budi mendapat respons positif. Karena tidak lama setelah itu, surat yang ia kirim, dijawab, dan Presiden Soeharto pun berkenan menerimanya.
“Surat saya kirim hari Kamis, hari Seninnya saya ditelepon oleh ajudan Pak Harto, bahwa bapak berkenan menerima,” tandasnya.
Saat pertemuan berlangsung, kata Budi, Presiden Soeharto langsung mengajukan pertanyaan kepadanya, apakah dirinya pernah melihat gambut di luar negeri? Dan Apa bedanya dengan di tempat kita (Indonesia-Red)?
“Yang sering saya dengar, Pak Harto kalau ketemu orang selalu pertanyaan pertama adalah pertanyaan filosofis, dan itu benar saya alami. Kalau saja waktu itu saya salah menjawab, pertemuan yang tadinya 30 menit bisa hanya menjadi 5 menit sudah selesai,” kata Budi.
Beruntung, kata Budi, jawaban yang ia keluarkan waktu itu tepat. Ia menjawab, yang membedakan gambut Indonesia dan luar negeri adalah air. Jawaban tersebut pun dibenarkan oleh Presiden Soeharto.
“Sepanjang pertemuan saya menyampaikan masukan, tapi ada kalimat sakti Pak Harto yang membuat saya tertekan dan terdiam, beliau bilang, saudara pintar seperti apapun kalau tidak ada beras mau makan apa?” cetus Budi.
“Jadi Pak Harto menekankan. Lahan pertanian itu harus dibangun, karena jika tidak kita akan impor 3 juta ton beras per tahun. Akhirnya jadilah 1 juta hektare lahan pertanian di Kalteng,” sambung Budi.
Sayangnya, agenda besar pengembangan lahan gambut di era Orde Baru tersebut tidak begitu berjalan mulus. Menurut Budi hal itu tidak terlepas dari pembuatan kanal yang tidak tepat.
“Kanal yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Kapuas itu menaiki kubah. Jadi tidak bisa menghubungkan air,” pungkasnya.